SEKULERISASI ATAS NAMA PANCASILA
Perdebatan tentang Pancasila, kembali muncul. Beberapa politisi dari partai yang dikenal sekuler menyerukan kembali penyeragaman asas partai. Kembali ke asas tunggal Panca-sila. Terang saja pro kontrapun meng-alir. Entah kenapa sejak awal kemuncul-annya Pancasila yang hanya terdiri dari lima sila itu, terus mengun-dang kontroversi.
Sejak awal Pancasila sendiri banyak versinya. Ada versi Bung Karno yang ia lontarkan di depan BPUPKI 1 Juni 1945. Saat itu menyebutkan lima sila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalis-me atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejehteraan sosial, dan ketuhanan. Ada pula versi Piagam Jakar-ta yang mencantumkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan menjalankan kewajib-an syariat Islam bagi pemeluknya. Versi ini menjadi keputusan resmi BPUPKI yang bersidang pada 22 Juni 1945. Ada versi PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang mirip dengan Pancasila yang ada seka-rang. Bahkan Soekarno saat mengeluar-kan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyata-kan Pancasila dan UUD 1945 yang dijiwai Pancasila Piagam Jakarta. Hingga seka-rang muncul perdebatan Pancasila mana yang sah ?
Fakta-fakta di atas menurut Habib Rizieq telah cukup menjadi bukti bahwa Pancasila sendiri tidaklah sakral, ia ha-nya merupakan produk akal manusia yang bisa berubah. “ Ini merupakan bukti argumentatif yang telah meruntuhkan metodologi Pancasila yang berupaya memitoskan Pancasila sebagai sakral dan tidak bisa diubah-ubah”,ujarnya.
Lepas dari pro kontra tentang Panca-sila, realita sejarah juga menunjukkan bahwa tafsir Pancasila lebih banyak ditentukan siapa yang menjadi penguasa saat itu. Di bawah kepemimpinan Bung Karno era orde lama, Pancasila ditafsir cenderung ke kiri (sosialisme) yang banyak mendominasi pemikiran Bung Karno.
Sementara di era Orde Baru, Panca-sila ditafsirkan lebih bercorak Kapitalis. Wajar saja mengingat Soeharto pada wak-tu itu berada dibawah dominasi Amerika, pembantu-pembantunya juga adalah pemikir-pemikir yang dikenal sangat Kapitalis. Sementara di era SBY sekarang, Pancasilanya tetap, tapi kebijakan-kebijakan yang muncul semakin bercorak neo-libaral.
Realita sejarah juga menunjukkan Pancasila telah dijadikan alat pukul politik (political hammer) oleh rezim yang berkuasa. Soekarno menyerang musuh-musuh politiknya sebagai anti Pancasila. Tidak jauh beda dengan Soeharto, siapapun yang mengkritisi kebijakannya akan dicap anti Pancasila, berarti subversif, dan siap dipenjara atau dihukum mati.
Ketika Soeharto memaksakan Panca-sila versinya dengan mengusulkan asas tunggal pada pidato di depan DPR tang-gal 16 Agustus 1982, upaya pemukulan lawan-lawan politik pun semakin me-muncak. Terjadilah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 dan peristiwa Lampung tahun 1989.
Ironisnya, lagi-lagi umat Islam yang paling banyak menjadi korban. Terjadi pula penangkapan besar-besar terhadap aktivis Islam yang menentang asas tung-gal. Mereka bukan sekadar ditangkap, tapi juga disiksa dengan cara yang mengerikan. Pengadilan 'wayang' pun dilakukan, para terdakwa dianggap su-dah bersalah sebelum pengadilan dimu-lai. Ormas yang menolak Pancasila seperti HMI MPO dan PII pun dinyata-kan ilegal. Aktivitas mereka diberangus, tokoh-tokohnya dikejar-kejar.
Menurut Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto, tafsir penguasa atas Pancasila ini bisa terjadi karena memang Pancasila baru sekadar kumpulan nilai-nilai umum yang belum memiliki turun-an operasional. Karena itu menurutnya, sulit Pancasila dikatakan sebagai sebuah ideologi sempurna. Menurutnya, sebuah pemikiran bisa disebut ideologi kalau selain memuat nilai-nilai mendasar juga memiliki operasional yang konsisten dan berhubungan. “Kalau tidak, Pancasila akan ditafsirkan oleh sembarang orang dengan sembarang kehendaknya”, ujar-nya. Hal yang sama dikatakan pengamat politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6).
Legitimasi Sekulerisasi
Lepas dari itu semuanya, sejarah telah membuktikan kekurangan sekaligus ke-lemahan Pancasila ini. Pancasila sekadar alat untuk mengokohkan kepentingan penguasa sekuler. Terbukti pula Panca-sila telah dijadikan legitimasi untuk melakukan proses sekulerisasi di Indo-nesia.
Sekulerisasi atas nama Pancasila ini pun telah mengorbankan rakyat banyak dengan kebijakan-kebijakannya yang kapitalistik. Kekayaan alam Indonesia yang dalam Islam masuk dalam kategori pemilikan umum (al milkiyah 'ammah) seperti minyak, emas, batu bara, gas, hutan diekploitasi oleh asing dengan alasan kebebasan investasi. Padahal kalaulah dikelola secara baik oleh negara, hasilnya akan bisa menyejahterakan rakyat. Utang yang menjeratpun sema-kin bertambah, ketika orde Baru dan orde pasca reformasi, mengikuti dengan setia kebijakan IMF dan World Bank.
Ketika syariah Islam ditolak untuk mengatur negara dengan alasan Panca-sila, yang terjadi malah kebijakan kapi-talisme yang menyengsarakan rakyat yang menguat. Dibuatlah kebijakan-kebijakan yang anti rakyat seperti priva-tisasi. Sektor pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan yang dalam pandangan Islam merupakan hak rakyat secara gratis, lewat privatisasi malah semakin jauh dari jangkauan rakyat.
Tidak hanya itu, dengan alasan kita negara Pancasila, usulan melarang por-nografi dan pornoaksi karena alasan syariahpun ditolak. Akibat liberalisme ini penyakit masyarakat pun meluas. Pelacuran, perzinahan, seks bebas, nar-koba, minuman keras, semakin meningkat.
Walhasil, Pancasila telah menjadi alat untuk melegalkan segala bentuk kebi-jakan sekuler yang membawa kehan-curan rakyat. Pancasila juga dijadikan alat untuk mengokohkan kepentingan kelompok sekuler dan menggusur kepen-tingan Islam dan upaya untuk menyela-matkan Indonesia dengan syariah.
Kebijakan Rezim Pancasilais
Orde Lama
Masyumi dilarang
Demokrasi terpimpin dengan Sukarno sebagai presiden seumur hidup
Orde Baru
Emas (Irian), Minyak dan Gas (Aceh, Riau, Palembang dll)dijual ke asing
Hutang luar negeri meningkat
Aktivis Islam yang bertentangan dengan Suharto ditangkap, dipenjara dan disiksa
Ormas Islam yang tidak sejalan dengan Suharto diberangus
Korupsi, Nepotisme, suap menyuap meluas diberbagai sektor
Suharto (versi PBB dan Bank Dunia) menggelapkan uang negara sebesar--------
Krisis Moneter dan ekonomi yang menambahkan sengsara rakyat
Orde Reformasi dan Pasca Reformasi
Timor Timur lepas dengan dukungan AS dan PBB
Urusan Aceh diserahkan ke Eropa dan AS yang menjadi benih disintegrasi
Disintegrasi Papua dan Maluku meluas dengan dukungan AS, Eropa dan Australia
Perjanjanjian DCA RI-Singapura yang mengancam keutuhan Indonesia
BBM dinaikkan untuk kepentingan investor asing
Privatisasi BUMN (aset negara dijual dengan harga murah)
Blok Cepu diserahkan ke Exxon Mobile
Kebijakan BHMN dan otonomi sekolah yang membuat biaya pendidikan semakin mahal
Muncul UU Pro Neo Liberal UU Migas, UU SDA, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, yang semakin memberikan jalan bagi asing untuk merampas kekayaan alam Indonesia dan menyengsarakan rakyat.
Kemiskinan meningkat versi Bank Dunia 100 juta penduduk Indonesia miskin
Tahun 2005 35 juta orang miskin, meningkat menjadi 39,05 Jumlah yang memiliki rumah 32,3 % (BPS)
1,67 juta jiwa menderita busung lapar (Kompas 28 Mei 2006)
Angka pengangguran juga meningkat dari tahun 1994 berjumlah 3.738.000 orang dan tahun 2003 sudah menjadi 9.531.000 orang (Asian Development Bank - Key Indicators 2004 - www.adb.org/statistics).
Rata-rata setiap hari terjadi 5 sampai 6 perempuan diperkosa di Indonesia ( Republika; 29 Mei 1994)
Korupsi Merajalela nomor 7 negara paling korups dari 163 negara
Ketika Pancasila Menjadi Godam Diktat
Setelah berjasa besar dalam merebut kemerdekaan RI dan mempertahankannya dari rongrongan komunis, kekuatan Islam oleh rezim Orba justru kemudian ditindas.
Seperti pendorong mobil mogok. Demikian tamsil untuk umat Islam dalam sejarah perjuangan Indo-nesia. Ketika rezim Orde Baru baru saja memegang tampuk kekuasaan pada 1967, umat Islam sangat berharap rezim ini akan mengakomodasi aspirasi Islam. Harapan ini tidak berlebihan, mengingat belum lama umat Islam dan TNI bahu-membahu dalam melawan kekuatan komunis di Indonesia.
Namun, dituturkan Ketua Dewan Dakwah, Adian Husaini MA, harapan itu pupus. Rezim Orde Baru bahkan mulai menindas aspirasi politik dan ideologi Islam. Islam dianggap sebagai ancaman bagi program politik dan pembangunan ala Orde Baru, yang kemudian ternyata mengikuti skenario 'pembangunanisme' ala IMF. Stabilitas nasional termasuk stabilitas ideologi dijadikan prioritas. Pancasila, bukan saja dijadikan sebagai dasar negara, tetapi kemudian dikem-bangkan sebagai 'pandangan hidup' dan 'pedoman moral' bangsa. Padahal, masing-masing agama sudah memiliki sistem dan nilai moral sendiri.
Adian kemudian menuturkan dosa rezim Orba terhadap umat Islam. Proses deislamisasi dilakukan secara bertahap dan sistematis. Dalam politik, misalnya, partai Masyumi tidak diizinkan untuk dihidupkan kembali. Secara bertahap, berbagai penataan di bidang politik dilakukan. Pada pemilu pertama era Orde Baru, tahun 1971, ada sekitar 2.500 tokoh-tokoh Masyumi dilarang untuk dicalonkan. Tahun 1973, dilakukan fusi partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Nama partai ini sudah tidak khas Islam lagi. Yang tersisa adalah simbolnya (Ka'bah) dan asasnya (Islam). Secara bertahap, simbol Ka'bah pun diganti dengan gambar bintang.
Proses de-Islamisasi ini secara bersamaan dilakukan dengan proses Jawanisasi atau 'Majapahitisasi'. Para aktor intelektual rezim Orde Baru ketika itu, benar-benar secara maksimal ingin menyingkirkan 'aroma Islam' dari berbagai arena politik dan pemerintahan. Nama-nama dan simbol negara sampai simbol dan semboyan departemen pemerintahan -- dijauhkan dari 'aroma Islam'. Sampai nama-nama ruangan di Gedung DPR/MPR diberikan dalam nama-nama Jawa. Hingga kini, Jawa-nisasi ini masih tersisa kuat dan sering tampak lucu serta dipaksakan.
Di bidang pemikiran Islam, peme-rintah Orde Baru juga melakukan berbagai upaya deislamisasi dan sekularisasi. Secara strategis, upaya pembaruan pemikiran dan pendidikan Islam dilakukan. Di level publik dan organisasi Islam, pada 2 Januari 1970, muncullah Nurcholish Madjid yang secara resmi menggulirkan ide seku-larisasi dari dalam tubuh organisasi Islam. Di kampus Islam, mulai ditanam-kan studi Islam ala orientalis yang dimotori oleh Harun Nasution. Tahun 1973, secara resmi, buku karya Harun Nasution yang berjudul “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya” dijadikan sebagai buku wajib dalam studi Islam di seluruh perguruan tinggi Islam.
Itulah buah dari kekuasaan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai institusi legislatif tingkat nasional, telah dikangkangi sepenuhnya oleh pemerintah, ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, kini TNI, pen.) dan Golkar (kekuatan politik kepanjangan tangan pemerintah).
Bencana Astung
Menabalkan kediktatorannya, pengu-asa kemudian menjadikan Pancasila sebagai Asas Tunggal (astung). Pada 1983, terbitlah Undang-undang asas tunggal untuk partai-partai yang mewa-jibkan semua partai politik berasaskan Pancasila. Hal itu dikukuhkan melalui Ketetapan MPR No. 11/1983, yang dituangkan dalam UU Nomor 3 tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta UU Nomor 8 tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan
Presiden Soeharto dalam sambutan-nya dalam suatu seminar yang diseleng-garakan Himpunan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS) di era 80-an, mengemukakan bahwa Pancasila merupakan ideologi terbuka.
Yusril Ihza Mahendra sebagai pakar Hukum Tata Negara memberikan penjelasan dalam tulisan yang bertajuk Pancasila Sebagai Ideologi yang Terbuka pada 17 Mei 1995. Rumusan Pancasila, menurut Yusril, yang ditetap-kan melalui TAP MPRS XXII/MPRS1966 sebagai “sumber dari segala sumber hukum”, haruslah ditafsirkan secara terbatas. Tidak bebas terbuka. Ia tidak dapat ditafsirkan mencakup kehidupan hukum keagamaan yang diyakini oleh pemeluk-pemeluknya sebagai besifat transenden, yang lansung bersumber dari Tuhan.
Secara berturut-turut sejumlah ormas Islam menyesuaikan diri dengan kehendak penguasa. Muhammadiyah melakukannya melalui muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985, dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) dalam kongresnya di Padang pada tahun 1987.
Tahun 1988 merupakan deadline bagi seluruh organisasi sosial dan politik untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal. PII tetap menolak Pancasila sebagai astung. Akibatnya, kegiatan PII dibekukan oleh Menteri Dalam Negeri masa itu, Soepardjo Rustam. Sebagian tokoh HMI seperti MS Kaban, Sahar El-Hasan, Firdaus Syam, Zulvan B Lindan, Furqon, Hardi, Zaini, menolak. Mereka lalu dicap sebagai HMI MPO atau Majelis Penyelamat Organisasi, dan bergerilya sebagai OTB (organisasi tanpa bentuk) hingga kekuasaan Orba tumbang.
Persengkongkolan Membangkitkan Orde Baru
Tiada angin, tiada hujan. Tiba-tiba terlontar gagasan untuk kembali ke asas tunggal Pancasila bagi parpol yang akan mengikuti Pemilu. Gagasan ini seolah memutar balik arah jarum jam perjalanan bangsa ke bela-kang. Betapa tidak. Gagasan ini dilontar-kan kembali oleh partai yang dulu berkuasa di era Orde Baru yakni Partai Golkar dengan dukungan Partai Demok-rasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan partainya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Partai Demokrat. Tentu banyak orang bertanya, ada apa ini?
Baru beberapa tahun lalu, tepatnya tahun 1998, asas tunggal ini dihapuskan. Partai-partai bebas menggunakan asas-nya masing-masing tanpa terikat lagi dengan asas negara Pancasila. Toh, per-bedaan asas itu pun tak menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat bangsa. Pemilu berlangsung aman dan tertib. Benturan sosial karena latar belakang psikologi sosial akibat perbe-daan asas tak terjadi. Masyarakat sudah demikian dewasa memandang setiap perbedaan.
Pemerintah pun tampaknya sadar akan hal itu. Karenanya dalam Rancang-an Undang-Undang Partai Politik, daftar inventaris masalah (DIM), pemerintah tidak menggiring parpol untuk ke asas tunggal. Pemerintah mencantumkan dengan lebih longgar bahwa asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45.
Namun, partai-partai besar justru menilai rancangan pemerintah itu tidak jelas dan tidak tegas. Ketua Panitia Khusus RUU Parpol, Ganjar Pranowo, dari Fraksi PDI-P mengatakan Pancasila dan UUD perlu dijadikan asas bagi parpol karena saat ini sudah mulai muncul gejala disintegrasi di sejumlah daerah yang dipicu adanya peraturan daerah (perda) berdasarkan agama (Perda Syariat).
Menurutnya, Pancasila sudah teruji sebagai pemersatu bangsa dan tidak sama dengan ketika Soeharto berkuasa. “Pancasila itu kan mewakili semua. Pancasila bisa untuk mewakili agama, nasionalis maupun sosialis. Jadi tidak perlu ada kekhawatiran kembali dijadi-kan asas tunggal,” tegasnya.
Gagasan PDI-P itu didasarkan pada pemahaman bahwa dasar negara adalah Pancasila, sehingga diharapkan dasar semua parpol pun juga sama, yakni berasaskan Pancasila. ''Jika ini dilakukan maka turunan asas melalui visi misi akan bisa selaras. Saya memang khawatir kalau parpol itu asasnya agama nanti visi misinya bias,'' ujar Ganjar, yang juga Ketua Pansus RUU Parpol. Ia mencon-tohkan, ketika parpol menggunakan asas Islam menang, kepala daerahnya seringkali melahirkan peraturan daerah yang bernuansa syariat.
Ganjar menyatakan partainya akan menolak kalau langkah mereka diartikan sebagai upaya kembali ke asas tunggal seperti masa Orde Baru. Menurutnya, asas Pancasila diberlakukan pada semua parpol. Tapi ciri khas setiap parpol dipersilakan memilih sendiri. Karena-nya, partai berlambang banteng ini akan mengawal gagasannya. ''Setiap yang kita usulkan pasti kita akan all out mem-perjuangkannya,'' kata Ganjar.
Tak beda dengan fraksi dari partai berlambang banteng, Partai Golkar (PG) tampaknya juga sangat serius mengusul-kan gagasan serupa. Ketua Fraksi PG, Priyo Budi Santoso, maupun Wakil Ketua Pansus RUU Parpol, Idrus Marham, kembali menegaskan usulan itu. ''Adanya konflik maupun gerakan separatisme merupakan indikasi pilar-pilar negara rapuh. Sehingga asas parpol adalah Pancasila harus dipertegas,'' ungkap Idrus.
Idrus mengatakan, rumusan keten-tuan bahwa asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila yang ada itu masih terlalu longgar. Seharusnya parpol tidak perlu ragu-ragu mencan-tumkan asas mereka Pancasila. ''Kalau tidak dipertegas malah bisa menjadi persoalan.''
Saat menyampaikan makalahnya di Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK), Idrus yang mantan Ketua Badan Koordinasi Pengurus Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), kembali meng-ulang ide partainya itu. Usulan PG itu didasari oleh beberapa prinsip, yakni: mempertegas komitmen Pancasila sebagai ideologi dan falsafah bangsa; memperkokoh pilar-pilar NKRI yang saat ini mulai terasa memudar; memperkuat format-format partai yang bersifat programatis; dan menghindari persaing-an politik atas dasar primordialisme dan sektarianisme. Ia menilai konsepsi terse-but lebih mengedepankan pendekatan kualitatif-rasional, bukan kuantitatif-psikosial politik.
Namun demikian, Idrus tidak mau disebut pihaknya mengusung asas tunggal. Tampaknya ia tahu betul kalau Pancasila sebagai asas tunggal tidak benar. Beberapa kegagalan asas tunggal itu yaitu Pancasila sebagai alat politik rezim penguasa; sebagai instrumen yang tidak memberi ruang bagi ideologi lain; sila ke-4 sangat otoriter untuk memaksa-kan musyawarah/mufakat; dan Panca-sila sebagai slogan politik belaka.
Makanya, ia lebih setuju Pancasila dijadikan asas/ideologi bersama partai-partai. Dalam kaitan ini, partai-partai boleh memiliki ciri dan karakter masing-masing yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Ia berharap gagasan menjadikan Pancasila sebagai asas bersama tidak dipertentangkan dengan prinsip-prinsip keagamaan.
Dalam kesempatan itu, ia menyitir kembali pola pikir Nurcholis Madjid, 'Islam Yes, Partai Islam No'. Menurutnya, pengedepanan simbol-simbol agama dalam politik berpotensi mempoliti-sasikan agama. Baginya, agama itu yang penting substansinya, bukan simbol-simbolnya seraya mengatakan tidak ada konsepsi baku mengenai 'Negara Islam'.
Selain itu, Idrus beralasan demokrasi harus ada komitmen. Nah komitmen itu harus diwujudkan secara tegas dan jelas. Ia juga berpendapat ketiadaan asas bersama telah menimbulkan berbagai separatisme.
Ketika menyampaikan pandangan fraksi terhadap RUU PP, Juru Bicara Fraksi Partai Demokrat I Wayan Gunas-tra mengatakan rumusan soal asas partai itu tidak tegas. Untuk itu, harus ada penegasan mengenai asas Pancasila. "Kita terlalu malu-malu untuk menya-takan secara tegas kalau asas parpol adalah Pancasila dan UUD 1945. Bagi kami, ketegasan itu diperlukan meng-ingat kian melunturnya nasionalisme dalam wadah NKRI yang pluralis dan agamis," kata Gunastra.
Ia mengatakan nilai pluralis dan agamis cenderung dilupakan, padahal pendiri negara ini sudah bersusah payah mendirikan, menjaga, dan memper-tahankan NKRI yang majemuk ini. Desakan untuk menjadikan Pancasila asas parpol juga disampaikan oleh Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS).
Kembali ke Belakang
Gagasan partai-partai berbasis sekuler ini tentu memunculkan reaksi keras. Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional, Zulkifli Hasan, mengatakan saat ini bukan waktunya lagi memper-debatkan asas Pancasila. Hal yang harus dilakukan adalah mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
''Semua parpol sudah Pancasila. Masak masih itu lagi (asas Pancasila) yang dijual. Persoalan Pancasila, UUD 45, dan NKRI adalah hal final yang sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Artinya semua parpol akan memperjuangkan agar Pancasila bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari,'' kata Zulkifli. Menurutnya, menjual simbol-simbol Pancasila sudah tidak dibutuhkan lagi, sebab persoalan tersebut sebenar-nya sudah selesai. ''Kalau kita kembali mempersoalkan itu, sama saja kita mundur ke belakang.''
Penolakan keras juga disampaikan Ketua Fraksi Partai Persatuan Pem-bangunan (FPP), Lukman Hakiem Saefudin. ''Hari gini kok masih pakai asas tunggal, capek deh..!'' ungkapnya. FPPP menolak keras usulan asas partai politik (parpol) hanya Pancasila. Hal terpenting, menurut Lukman HS, adalah asas parpol itu pasti tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Parpol memang masih dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan kehendak dan cita-cita parpol yang bersangkutan, namun selama tidak bertentangan dengan Pancasila. ''Kami jelas akan melawan gaya-gaya ala Orde Baru yang memaksa-kan penerapan asas tunggal.''
Menurutnya, sikap partainya me-nolak asas tunggal justru sesuai dengan ajaran Bung Karno.''Ingatlah pada seja-rah di mana Soekarno justru ber-pandangan bahwa Pancasila harus menjadi taman bagi tumbuhnya ideologi-ideologi yang lain.''
Ketua Partai Bintang Bulan (PBB), Hamdan Zoelva, pun menegaskan gagasan asas tunggal itu justru akan memunculkan radikalisasi politik. Ujung-ujungnya nanti akan timbul me-micu konflik yang mengancam persatuan bangsa. Menurut Hamdan, selama ini konflik yang ada selalu bisa tertampung melalui saluran politik, sehingga konflik selalu dalam batas yang terkendali. ''Kalau muncul asas tunggal, justru akan membuat adanya parpol yang secara ideologi tidak tertampung. Ini yang justru memicu radikalisasi.'' Selama asas tunggal diterapkan, terbukti tidak ber-jalan secara efektif. Kehidupan kebang-saan tidak lebih baik. ''Sehingga tidak ada gunanya jika kembali ke belakang lagi,'' tandasnya.
Gagasan partai-partai besar ini pun menggugah pimpinan MPR bersuara. Ketua MPR Hidayat Nurwahid dengan tegas menolak asas tunggal itu. Menurut-nya, mengungkit kembali masalah ini adalah tidak produktif. ''Sebaiknya tidak perlu dibesar-besarkan. Karena tidak ada masalah dengan praktek politik kita," ujar Hidayat Nurwahid di sela-sela acara buka puasa bersama ormas-ormas dak-wah Islam di rumah dinasnya. Ia berpan-dangan, asas tunggal tidak sesuai dengan semangat reformasi yang mengehendaki kebebasan setiap ormas dan parpol untuk memiliki asas masing-masing. Penerap-an kembali asas tunggal sama saja de-ngan kembali ke masa Orde Baru. "Ini justru bertentangan dengan semangat demokrasi dan pluralitas. Kenyataannya, asas tunggal ketika itu tidak menghadir-kan apa-apa yang selalu digembar-gemborkan tentang pentingnya Bhin-neka Tunggal Ika, menghormati plurali-tas, dan menghormati kesatuan nasio-nal," ujarnya.
Mantan Presiden PKS ini justru khawatir asas tunggal dapat memicu timbulnya perpecahan bangsa. Penye-ragaman, menurutnya, tidak sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika yang menghargai keberagaman. Apalagi UU Parpol sudah sangat jelas mengatur komitmen seluruh parpol untuk mem-perjuangkan NKRI dan setia pada Panca-sila. Menurutnya, komitmen partai tak perlu diformalkan dalam AD/ART. "Jika diformalitaskan, seakan-akan ada per-tentangan antara Islam dan Pancasila. Padahal sila pertama Pancasila jelas ke-tuhanan Yang Maha Esa," tuturnya.
Wakil Ketua MPR AM Fatwa berpan-dangan pemaksaan asas tunggal bisa menimbulkan konflik baru. "Ini pernah jadi persoalan di masa Orba, dengan munculnya huru-hara, korban keke-rasan. Kalau asas ini diterapkan lagi, bisa menimbulkan huru-hara baru," ujarnya usai pembahasan lanjutan RUU Parpol di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Ia menduga, isu asas tunggal sengaja digulirkan oleh parpol yang sudah berasas Pancasila.Politisi PAN menilai, Pancasila tidak perlu dipaksakan menjadi asas parpol. "Saya kira rumusan dari pemerintah sudah tepat bahwa asas parpol tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, apa pun asasnya," jelasnya.
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) di DPR menduga, pelaku Orde Baru yang diduga meramaikan kembali wacana itu. "Kekhawatiran gagasan ini justru akan membuka kembali gap antara kekuatan politik religi dan yang mengaku nasionalis," ujar Ketua Fraksi PKS Mahfudz Siddiq. Ia mengatakan, mun-culnya gagasan asas tunggal ini didasari pemikiran-pemikiran konservatif untuk mempolarisasi antara kekuatan-kekua-tan nasionalis dengan religius. Padahal fakta menunjukkan justru sedang terjadi saling mendekat antara gagasan-gagasan nasionalisme dan religius.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, mengatakan, sebenarnya persoalan perdebatan asas parpol tidak usah lagi dilakukan. Pembahasan asas bagi parpol dalam RUU ini dinilainya hanya membuang-buang waktu saja dan mubazir. Tak ada perso-alan antara Pancasila dan Islam.
''Jadi kita kembali lagi ke masa lalu, masa Orde Baru. Apalagi, sebenarnya Pancasila itu berasal dari nilai-nilai ajaran Islam. Jadi yang kami khawatir-kan asas Pancasila nanti malah akan jadi alat pemukul bagi lawan politik,'' kata Tifatul.
Suara keras menentang gagasan parpol Orba dan penguasa saat ini pun ditanggapi mereka yang berada di luar parlemen. Ketua Umum Partai Matahari Bangsa (PMB) Imam Adaruqutni menga-takan usulan itu ngawur. Bahkan, ini dapat menjadi indikasi bahwa dalam proses politik baik yang ada di DPR maupun pemerintah sudah ada benih-benih kembalinya kekuatan fasis. ''Ini memang sebuah hal kontraproduktif. Bila itu terjadi, maka nanti yang muncul hanya 'demokrasi embel-embel'. Dahulu ada demokrasi Pancasila, yang ternyata dalam prakteknya melahirkan rezim otoriter. Nah, sekarang tampaknya tengah dicoba oleh para elit politisi kita ini,'' kata Imam.
Di mata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris, asas partai politik (parpol) yang beragam nasio-nalis, agama dan sosialis tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan dengan Pancasila dan UUD 1945. Selama ini, Pancasila sudah menjadi dasar nega-ra, sehingga kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan asas parpol. Sebaliknya, penyeragaman asas justru tidak menunjukkan miniatur masyarakat yang beraneka ragam. “Pancasila kan sudah jadi asas negara. Jadi tidak perlu diperdebatkan. Asas partai lebih pada ciri khas. Nanti malah seperti zaman Soe-harto,” katanya.
Ia juga menilai kekhawatiran muncul-nya disintegrasi apabila asas parpol beragam kurang beralasan dan tidak masuk akal. Selama ini, keinginan disintegrasi tidak pernah disebabkan oleh parpol. Munculnya peraturan daerah (perda) bernuansa agama sebenarnya juga tidak bisa bertahan lama.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam diskusi FKSK pekan lalu mengemukakan munculnya kembali gagasan Pancasila sebagai asas tunggal partai politik merupakan wujud sikap ketakutan terhadap bangkitnya umat Islam di negeri ini. ''Tampaknya ada ketakutan terhadap Islam politik,'' kata Ismail.
Perkembangan Islam di negeri-negeri berpenduduk Muslim memang menun-jukkan hal itu. Partai-partai sekuler mulai ditinggalkan oleh umat Islam. Ini misalnya bisa dilihat di Turki dan Palestina. Ghirah Islam pun berkembang cukup pesat di negeri-negeri Islam. Tak heran, Presiden George W Bush pun beberapa waktu lalu sampai mengajak para pemimpin negeri-negeri Muslim untuk memerangi mereka yang ingin menerapkan syariah dan khilafah Islam.
Menurut Ismail, secara logika usulan kembali ke asas tunggal yang diusung oleh Partai Golkar, PDIP, dan Partai Demokrat itu tidak logis. Berbagai persoalan di negeri ini, lanjutnya, bukan disebabkan oleh faktor asas tunggal atau tidak. Tapi negeri ini telah dikelola menggunakan ideologi kapitalisme-sekuler. ''Usulan ke asas tunggal tidak menunjukkan hubungan antara problem dan solusi,'' katanya.
Ia mengatakan selama ini Pancasila merupakan sebuah konsep yang tidak memiliki pola operasional. Karena itu yang dibutuhkan adalah bagaimana memecahkan problem bangsa ini dengan konsep dan pola operasional yang jelas. ''Maka itu kami mengajukan gagasan 'Selamatkan Indonesia dengan syariah'. Karena syariah Islam itu datang dari Dzat Yang Maha Benar,'' tandasnya.
Ismail juga mempertanyakan bagai-mana kaitan ketiadaan asas tunggal dan separatisme seperti yang dijadikan dasar oleh Partai Golkar. Menurutnya, di daerah yang muncul separatisme, pemenang pemilu justru Golkar dan PDIP, bukan partai-partai berlandaskan Islam. Bahkan di beberapa daerah yang membuat Perda Syariah pun, pemenang pemilunya adalah Golkar seperti di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Ketua PBNU Hasyim Muzadi menyatakan : Menggunakan asas Pancasila sudah usang”, tegasnya. Prof.Din Syamsudin, selaku Ketua PP.Muhammadiyah, juga menolak penggunaan asas Pancasila bagi parpol dan ormas. Gus Dur juga menilai : :” Penggunaan asas Pancasila sudak tidak perlu lagi”, ujar Ketua Dewan Syuro PKB. Semua menolak pemberlakuan kembali asas Pancasila.
Jadi sudah tidak ada lagi momentum menjadikan Pancasila sebagai ‘asas tunggal’ bagi parpol dan ormas. Dan, jangan membiarkan ‘fasisme’ hidup kembali. Wallahu’alam
Konferensi Khilafah Gentarkan Dunia
Barat begitu ketakutan dengan ide khilafah. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghalang-halangi penyebaran ide ini. Namun umat Islam, atas pertolongan Allah, menghadapinya dengan tegar.
Ahad, 12 Agustus mata dunia tertuju ke Jakarta. Seluruh kamera televisi dari stasiun televisi internasional hadir di sini. Ratusan wartawan asing dan inter-nasional tumplek di Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK). Mereka ingin mengabadikan sebuah peristiwa berse-jarah: Konferensi Khilafah Internasional 2007 bertemakan: 'Saatnya Khilafah Memimpin Dunia'.
Konferensi yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini dihadiri lebih dari 100 ribu pasang mata. Mereka berasal dari seluruh Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Bahkan di antara peserta ada yang berasal dari Denmark, Palestina, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Inggris, Malaysia, Australia, dan Turki.
Awalnya banyak orang yang pesimis-tis tentang konferensi ini. Mampukah HTI mengumpulkan massa sebanyak kapasitas stadion 85 ribu tempat duduk? Keraguan itu pun terjawab. Sejak pukul 04.00 WIB, massa dari berbagai daerah laksana semut berangsur-angsur menge-rubuti stadion. Rombongan massa dengan menggunakan bus dan kenda-raan pribadi makin siang makin banyak. Tak heran, sekitar pukul 07.00 WIB pintu masuk GBK mulai padat oleh rombong-an. Jalan di sekitar stadion macet.
Gelombang manusia memadati tem-pat duduk. Sekitar pukul 08.00 WIB, satu jam sebelum acara dimulai, hampir se-mua tempat duduk terisi. Perempuan menempati tribun bawah, sedangkan laki-laki di tribun atas. Mereka disambut nasyid 'Laa izzata illa bil Islam' (Tiada kemuliaan kecuali dengan Islam). Pekik takbir membahana di sela-sela nasyid.
Kenyataan ini pun sekaligus mema-tahkan upaya-upaya 'sabotase' massa yang dilakukan oleh ormas dan tokoh nasional tertentu. Menurut sumber Suara Islam, pelarangan untuk datang ke GBK terjadi di berbagai daerah. Pelarangan ada yang bersifat langsung dengan mengatakan bahwa organisasi tidak sepakat dengan konferensi ini sehingga jamaahnya tidak boleh berangkat atau ada yang tidak langsung yakni dengan cara membuat acara tandingan dan menakut-nakuti. Ada juga yang melakukan 'black campaign' terhadap acara ini.
Berkumpulnya puluhan ribu pasang mata ini pun akhirnya benar-benar membelalakkan mata dunia. Beberapa media asing menulis peristiwa ini sebagai peristiwa besar. Ini adalah Konferensi Khilafah terbesar dalam sejarah umat Islam setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki 1924.
Konferensi Umat
Juru bicara HTI Muhammad Ismail Yusanto dalam sambutan pembukaannya mengingatkan tiga peristiwa penting di bulan suci Rajab. Ketiganya adalah pertama, Isra' Mi'raj Nabi SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang tak beberapa lama kemudian diikuti dengan thalab an-nushrah (upaya Rasul untuk mencari pertolongan bagi dakwah beliau); kedua, pemebabasan Baitul Maqdis dari kaum Salib pada 27 Rajab tahun 583 Hijrah; dan ketiga, tragedi penghancuran Khilafah oleh para penjajah pada 28 rajab tahun 1342 H, bertepatan dengan tanggal 3 Maret 1924.
Hancurnya khilafah menyebabkan negeri Muslim yang awalnya bersatu menjadi terpecah belah. Kini jumlahnya ada 57 negara. Negara-negara ini dipimpin oleh antek-antek penjajah yang sengaja didudukkan sebagai penguasa oleh kaum kafir. Mereka ini menjadi kepanjangan tangan penjajah untuk mencengkeram negeri-negeri Islam. Tak mengherankan bila kondisi umat Islam terhinakan dan terpuruk di segala bidang karena mencampakkan syariah dan khilafah. Karenanya, ia mengajak kaum Muslimin untuk bersatu dan berjuang bersama-sama menegakkan kembali Khilafah. ''Ini adalah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah,'' tandasnya yang kemudian disambut pekik takbir.
Ia mengatakan, kembalinya khilafah adalah sebuah kepastian. Ismail menyitir hadits Rasulullah SAW riwayat Ahmad: .....selanjutnya akan datang suatu kekhilafahan yang berjalan di atas manhaj kenabian. Khilafah akan mengembalikan kemuliaan kaum Mus-limin dan akan menjadikan Islam rahmat bagi seluruh alam dalam arti yang sebenarnya.
Beberapa tokoh nasional yang dijadwalkan hadir ternyata berhalangan. Menpora Adyaksa Dault tidak datang dengan alasan sakit perut. Amien Rais yang sejak jauh hari menyatakan akan datang pun absen dengan alasan ada acara di Solo. KH Zainuddin MZ pun mangkir. Orasi tokoh akhirnya disampai-kan oleh KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym), Prof Din Syamsuddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), Ketua Umum Syarikat Islam KH Amrullah Ahmad, Ketua MUI Sumatera Selatan KH Tholan Abdul Rauf, dan tokoh Nahdiyin dari Lombok Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Turmudzi Badhuli.
Aa Gym yang datang dalam kondisi sakit mengatakan tema besar yang diusung dalam konferensi ini yakni 'saatnya khilafah memimpin dunia', hendaknya bisa menyadarkan seluruh umat Islam agar berani melakukan pembenahan kepada diri sendiri, sebelum memberikan penilaian kepada orang lain. Karena Islam bukanlah sebuah agama yang hanya membahas teori, tetapi membutuhkan pembuktian.
“Kenapa maksiat yang dikemas begitu baik sangat laku, tetapi kalau Islam yang begitu indah sulit untuk dibeli? Padahal Islam itu penuh kasih sayang, Islam itu adil, Islam itu solusi, sehingga Islam butuh manusia yang menjadi bukti, ” kata Aa Gym.
Tuan Guru Turmudzi mengajak seluruh kaum Muslim bersatu. Persatuan adalah wujud adanya keimanan. Ia berpesan agar umat Islam berjuang dengan penuh kesabaran.
KH Tholan Abdul Rauf mengingatkan peserta konferensi bahwa kemerdekaan Indonesia dilandasi oleh perjuangan kaum Muslim. Ia menguraikan filosofi yang terkandung dalam Pancasila berdasarkan asas Islam. Karenanya tuntutan melaksanakan syariah Islam adalah suatu yang wajar.
Ketua Umum Syarikat Islam, KH Amrullah Ahmad, menegaskan, sekuler-isme, pluralisme, liberalisme, dan kapitalisme telah nyata menyengsarakan kehidupan umat Islam di seluruh dunia. Umat Islam tidak akan mulia dan tetap terhina bila terus berada dalam sistem kufur tersebut. Makanya ia mengajak seluruh kaum Muslim untuk kembali kepada syariah dan khilafah.
Acara orasi ini diselingi parade bedug dan reppling. Delapan 'reppler' mem-bawa bendera Liwa dan Raya (Bendera Rasulullah berwarna putih dan hitam bertuliskan 'Laa Ilaha Illallah, Muham-madur Rasulullah' dari atap tribun barat stadion GBK. Mereka meluncur dari ketinggian 80 meter di atas tanah. Mereka kemudian membentuk formasi di tengah lapangan dan kemudian menye-rahkan bendera itu kepada para pembicara di panggung konferensi.
Di mata Ketua Umum PP Muham-madiyah Prof Din Syamsudin, khilafah merupakan bentuk yang sudah ada dalam sejarah Islam. Inti sari ide tersebut sangat baik untuk meningkatkan persatuan umat Islam. Namun, menurutnya, tidak mudah untuk mencapainya. Karena itu ia mengajak uamt Islam untuk bersatu. Agar khilafah itu terbentuk, katanya, seluruh umat Islam harus merapat, baik ulama maupun cendikiawan Muslim.
Puncak konferensi diisi dengan pem-bacaan makalah oleh para pembicara. Dr Imran Wahid dari Inggris yang mengi-rimkan suaranya karena dideportasi oleh pemerintah Indonesia, mengatakan peradaban Barat kini mengalami krisis yang serius. Kehancurannya tinggal menunggu waktu. Kemajuan fisik dan materi hanyalah kebahagiaan semu. Krisis spiritual yang akut justru melanda dunia.
Syeikh Ismail al Wahwah dari Australia dalam video yang ditayangkan di layar lebar menyatakan dunia membutuhkan Khilafah. Insitutusi Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan multidimensi yang melanda umat manusia. Khilafah adalah kebu-tuhan umat manusia saat ini baik mereka Muslim maupun non Muslim.
Saat ini, kata Syeikh Issam Ameera, imam MasjidilAqsha yang mengirimkan makalahnya, menyatakan tanda-tanda tegaknya Khilafah itu sudah nyata. Ia mengutip ayat-ayat Al Quran bahwa kaum Muslim akan berkuasa kembali di muka bumi ini setelah mengalami keterpurukan dan kehinaan. Ia pun mengungkap berbagai tanda yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam hadits yang secara gamblang memberi kabar gembira hadirnya kembali Khilafah yang akan menaklukkan Kota Roma. Hadits itu menyebut dua kota yang ditaklukkan oleh kaum Muslim yakni Konstantinopel dan Roma. Dalam sejarah, Konstantinopel sudah ditakluk-kan kaum Muslimin oleh Muhammad Al Fatih. ''Atas izin Allah, Khilafah nanti akan memfutuhat kota Roma,'' kata Syeikh Issam.
Berdirinya Khilafah tentu tidak mudah. Banyak tantangan yang akan dihadapinya, baik sebelum maupun setelah Khilafah itu tegak kembali. Syeikh Usman Abu Kholil dari Sudan yang mengenakan jubah putih menjelaskan, tantangan dari luar yang akan muncul adalah pertama, perang pemikiran; kedua, embargo kepada Khilafah; dan ketiga, perang fisik.
Menurutnya, tantangan terakhir merupakan tantangan yang paling berbahaya, berat, dan paling dahsyat. Barat dan antek-anteknya akan berdiri menghadapi Khilafah dan berusaha untuk menghancurkannya. ''Sebab berdirinya Khilafah identik dengan kehancuran sistem kapitalisme. Para pendukung sistem ini tentu sangat memahami makna berdirinya Khilafah, jauh melebihi pemahaman kaum Muslim,'' jelasnya.
Untuk menghadapi kondisi itu, Syeikh Usman berpendapat, senjata yang paling kuat untuk menghadapi bahaya dan krisis tersebut adalah iman, keyakin-an kepada Allah, dan pertolongan-Nya. ''Sesungguhnya senjata iman dan keyakinan kepada Allah itulah senjata yang paling dahsyat yang dihunus oleh seorang Muslim sebelum, ketika, dan sesudah negara berdiri,'' tegasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Muslim Jepang, Prof Hassan Ko Nakata, dalam pidatonya berbahasa Jepang, mengurai-kan tentang peran perjuangan HT dalam membangun peradaban ke depan. Menurutnya, HT adalah salah satu gerakan politik yang memiliki karakter Islahi-Salafi-Sunni. Gerakan ini, lanjutnya, menolak segala bentuk gagasan sosial politik yang berasal dari luar Islam baik itu ajaran tradisional masa pra Islam yang bertentangan dengan Islam maupun konsep modern dari Barat sebagai dasar ideologis dari perubahan.
Ia mengungkapkan, HT kini menjadi sorotan tajam dunia Barat karena perjuangannya untuk menegakkan Khilafah. Perjuangan HT mengancam Barat. Padahal, kata Nakata, konsep Khilafah sebenarnya dapat diterima bukan hanya oleh kalangan Islam, namun juga oleh Kristen, bahkan oleh mereka yang sekuler sekalipun.
Nakata yang mahir berbahasa Arab dan Inggris ini lalu menguraikan tentang konsep Khilafah. Menurutnya, khilafah adalah sistem pemerintahan 'bersifat keduniaan' yang aturannya berdasarkan hukum, bukan teokrasi/ketuhanan. ''Tidak ada ruang sekecil apa pun bagi hal-hal mistik atau pengambilan keputusan secara irrasional oleh seorang Khalifah,'' katanya.
Penerapan syariah Islam bagi kaum non Muslim, menurut Nakata, terbatas hanya pada sektor publik. Karenanya, Islam tetap akan menjaga pluralitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat seraya memberikan jaminan ketertiban, keamanan, dan kedamaian bagi masya-rakat secara menyeluruh.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, Nakata berpendapat HT memiliki posisi terbaik mewujudkan misinya karena adanya kebebasan berekspresi dan beraktivitas politik di negeri ini. Di matanya, HTI telah berhasil mewujud-kan berbagai karya intelektual dan membangun kerja sama dengan organisasi Islam lainnya.
Hafidz Abdurrahman dari DPP HTI menyatakan akan terus membina umat dan memberikan pencerahan kepada mereka tentang syariah. Aktivitas itu dilakukan secara intelektual dan politik. Karenanya, HT mengajak umat secara bersama-sama untuk bergerak menuju tercapainya tujuan tersebut.
Hambatan Menghadang
Barat tahu betul bahwa konferensi ini sangat berbahaya. Tak heran bila banyak hambatan terhadap pelaksanaan konferensi ini sejak awal persiapan, pelaksanaan, hingga akhir acara. Hambatan yang paling nyata adalah dideportasinya dua pembicara luar negeri yakni Dr Imran Waheed dari Inggris dan Syeikh Ismail Al Wahwah dari Australia. Keduanya sudah sampai di Jakarta pada Jumat (10/8) siang di Bandara Soekarno-Hatta. Imran Waheed yang datang bersama istri dan dua anaknya yang masih kecil akhirnya meninggalkan Jakarta. Demikian pula Syeikh Ismail.
Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah soal ini. Juru bicara HTI Ismail Yusanto protes keras terhadap hal ini. Menurutnya, kedua pembicara tersebut telah mengantongi visa dan memenuhi kelengkapan administrasi yang diminta. Hambatan juga dialami oleh Syeikh Issam Ameera dari Palestina. Imam Masjid Al Aqsha ini tidak mendapatkan izin keluar dari pemerin-tah Israel.
Tidak di situ saja, dua pembicara lokal juga dicekal oleh pemerintah. Mereka adalah Ustad Abu Bakar Ba'asyir dan Habib Rizieq Shihab. Menurut sumber Suara Islam, pencekalan mereka menjadi prasyarat dikeluarkannya surat izin konferensi. Kendati begitu, kepolisian membantah melakukan pencekalan terhadap kedua tokoh lokal itu.
Tekanan juga ditujukan kepada para pembicara yang akan memberikan orasi. Tidak jelas apa bentuk tekanannya. Satu per satu mundur sebagai pembicara dengan alasan yang terkesan mengada-ada. Padahal sebelumnya mereka sangat bersemangat untuk menghadiri hajatan besar umat Islam ini.
Sumber di panitia pun menyebutkan, televisi yang akan menyiarkan konferensi ini secara live pun mundur sehari sebelum hari H. Televisi pemerintah itu diminta menyiarkan acara presiden live dari Pekanbaru pada hari dan jam konferensi.
Setelah acara pun 'black campaign' pun dilakukan oleh kalangan intelektual Islam sekuler. Azyumardi Azra yang dikutip berbagai media menyatakan konferensi ini bukanlah mewakili kehendak umat Islam Indonesia. Bahkan ia menyatakan apa yang disuarakan dalam konferensi ini hanyalah mimpi. Anehnya, kenapa acara yang sekadar mengusung mimpi kok dihalang-halangi?
Berbagai fakta tersebut menunjukkan kebohongan demokrasi. Demokrasi memberikan kebebasan kepada siapapun bersuara, tapi tidak untuk Islam. Kenyataan itu juga mempertontonkan bahwa para penguasa di negeri Muslim termasuk di Indonesia belum bisa melepaskan diri dari kekuatan asing yang membelenggunya. Mereka tidak berdaya menerima tekanan asing.
Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Kini saatnya umat bersatu padu memper-juangkannya. Perbedaan golongan dan kelompok tak boleh menghalanginya. Ini adalah kewajiban dari Allah SWT. Ini semua demi kejayaan dan kemuliaan Islam dan kaum Muslim. Saatnya Khilafah memimpin dunia.
Khilafah Sulit Diterapkan di Indonesia
Jakarta -RoL-- Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Dedy Djamaluddin Malik, di Jakarta, Senin, menyatakan gagasan khilafah memang sulit diterapkan di Indonesia yang berdasarkan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
Ia mengatakan itu kepada Antara, menanggapi pernyataan sejumlah tokoh besar Islam di Tanah Air, di antaranya Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin yang menyatakan khilafah tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia. Din Syamsuddin merupakan salah satu tokoh Islam yang diundang hadir dan memberikan ceramah dalam acara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Gelora Bung Karno, Ahad (12/8) kemarin.
Acara yang mengusung kekhilafahan itu bertajuk Konferensi Khilafah Indonesia (KKI), dihadiri sekitar seratus ribu umat dari berbagai pelosok Indonesia, juga beberapa tamu asing. “Silakan saja HTI menganggap Khilafah Islamiyah sebagai kepemimpinan Islam. Tetapi dalam Islam, makna khilafah sangat luas dan banyak persepsi. Misalnya, setiap orang adalah khilafah atau pemimpin dalam dirinya sendiri,” kata Din Syamsuddin.
Karena itu, acara KKI yang dihadirinya sebagai penceramah, menurut dia, hanya memenuhi undangan, meski sejumlah tokoh Islam lain yang dijadwalkan hadir tidak datang. “Kedatangan saya tidak ada kaitannya dengan politik. Saya hadir di sini atas undangan dan kita harus menjaga hubungan baik dengan sesama umat Islam,” kata Din Syamsuddin.
Gagal di Konstituante
Dedy Djamaluddin Malik lalu mengungkapkan empat alasan mengapa khilafah itu sulit diterapkan di Indonesia saat ini. Pertama, secara historis, umat Islam Indonesia sudah pernah memperjuangkan hal ini di konstituante pada dekade 1950-an lalu, tetapi gagal. Kedua, lanjutnya, umat Islam di Indonesia tidak tunggal dalam pemahaman dan organisasi. Ketiga, masyarakat Indonesia itu pluralis, sebagaimana umat Islamnya juga. “Dan keempat, Islam di Indonesia lebih besar bersifat moderat seperti NU dan Muhammadiyah,” kata Deddy Djamaluddin Malik.
Secara terpisah sebelumnya Sekretaris Fraksi Partai Demokrat di DPR RI, Sutan Bathoegana, atas nama fraksinya menyatakan penghargaan tulus atas sikap penolakan oleh para tokoh Islam terhadap pergerakan khilafah, karena dianggap tak cocok diterapkan di Indonesia yang berdasarkan konstitusi Undang Undang Dasar 1945. “Saya kira kita sudah final dengan NKRI dan Pancasila sebagai landasan kita berbangsa dan bernegara,” katanya kepada Antara.
Terhadap sikap para tokoh Islam, khususnya Din Syamsuddin itu, Sutan Bathoegana mengatakan hal itu sudah sangat pas. “Iya, saya kira itu bagus. Jadi itu sudah pas,” kata Sutan Bathoegana.
Kalau tokoh-tokoh Islam menolak mengubah dasar negara Indonesia, menurut dia, merupakan sebuah sikap sangat arif dan bijaksana. “Kita dukung itu, agar kita tidak kembali terpecah-belah seperti zaman penjajahan dulu,” kata Sutan Bathoegana.
Tolak Kedaulatan Rakyat
Sebelumnya, juru bicara HTI, Muhammad Ismail Yusanto kepada pers dengan terang-terangan mengatakan pihaknya menolak sistem demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. “Kami menolak demokrasi yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, karena kedaulatan itu seharusnya berada di tangan Allah,” katanya.
Tetapi, HTI menurut dia, tetap mengakui adanya pluralitas di dalam suatu masyarakat dan tidak serta merta menolak pemilihan umum serta sistem perwakilan di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Tentang acara konferensi itu, kata Muhammad Ismail Yusanto, tidak dimaksudkan untuk membuat deklarasi lahirnya sebuah kekhalifahan atau partai politik baru, tetapi lebih bersifat sebagai nasihat keagamaan serta memberi pendidikan kepada umat.
Berseberangan
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Damai Sejahtera, Jeffrey Massie, menganggap sebagai sesuatu yang menarik, jika sekarang Indonesia sebagai bangsa pengusung ideologi Pancasila dan mendasarkan konstitusinya pada Undang-Undang Dasar 1945 sepertinya telah menjadi pusat pergerakan dari ‘the re-establishment Islamic caliphate worldwide’. Mengomentari pernyataan berbagai tokoh Islam, termasuk Din Syamsuddin, Jeffrey Massie berpendapat, atas nama demokrasi, semua yang terjadi itu sah-sah saja.
“Menurut saya, ‘in the name of democracy, freedom of expression’ dan lain-lain, mungkin sah-sah saja untuk mewacanakan terbentuknya Khilafah Islamiyah Dunia dengan Indonesia sebagai pusat pergerakan itu (or so it seems), walau sebetulnya, menurut saya, wacana tersebut jelas-jelas berseberangan dengan konstitusi kita,” katanya.
Namun, Jeffrey Massie juga menilai Pemerintah Indonesia sepertinya tak punya konsep jelas menghadapi hal-hal seperti ini. “Karena pemerintah tidak mengambil tindakan apa-apa, yah ‘wes’ mungkin-mungkin di mata pemerintah hal tersebut tidak apa-apa,” katanya. Menurut Jeffrey Massie, ‘in the name of freedom of expression’ juga, akan dianggap sah-sah saja jika sekelompok masyarakat tidak setuju dengan pandangan (mereka).
“Pula (pemerintah) harus bersikap sama jika ada pihak yang merasa secara geografis politis tidak ‘sreg’ atau tak ‘pas’ lagi menjadi bagian dari NKRI yang ternyata fondasi negaranya dan dasar konstitusinya dengan mudah digoyang ke sana ke mari,” kata Jeffrey Massie. Antara
Sumber: Republika Online, 13 Agustus 2007
Negara, Kapital dan Demokrasi
Kerusakan Struktural dan Individual
Isu tentang Dana Kampanye Presiden (DKP) yang berasal juga dari DKP RI (Departemen Kelautan dan Per-ikanan Republik IndonesiaI) dan DKP Amerika (Dana Kiriman Pemerintah Amerika) terus bergulir dan menjadi bola liar. Isu tersebut bukan saja meng-goncangkan politik Indonesia tapi juga menggambarkan betapa politisi Indo-nesia ternyata begitu rentan dan rapuh sehingga perlu ditopang oleh dana dari luar negeri dan juga diharuskan membangun persekutuan politik jahat dengan aktor-aktor dari negara adi daya.
Sudah sejak lama sesungguhnya proses penyelenggaraan negara sekuler yang banyak digemari manusia di muka bumi ini, mengharuskan adanya kapital atau modal sekaligus juga menghasilkan modal dan kapital itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan banyak orang tergila-gila pada kekuasaan yang dapat menghasilkan dan menambah kapital pribadi.
Secara struktural, perputaran kapital dalam satu periode APBN yang dijalankan oleh negara seperti Indonesia mencapai Rp 750 trilyun, belum lagi kapital yang dikelola langsung oleh para menteri dengan istilah dana non budgeter pada setiap departemen, yang jumlahnya juga mencapai ratusan milyar rupiah. Dari kapital atau dana non bujeter inilah operasi-operasi politik dibiayai, baik operasi politik untuk keperluan rezim maupun operasi politik untuk keperluan pribadi sang menteri.
Sebagi contoh, menjelang dilakukan-nya pemilu 1971, yang merupakan pemilu pertama Orde Baru, dilakukan operasi intelijen terhadap beberapa kelompok dan gerakan yang berbasiskan pada Islam. Operasi tersebut berupa pemberian konsesi distribusi minyak tanah kepada tokoh-tokoh gerakan Islam yang mau untuk disuap dengan imbalan mereka harus mengarahkan pengikutnya untuk memilih mesin politik orde baru pada waktu itu. Operasi yang dilakukan oleh sebuah unit yang bernama Opsus pimpinan Ali Moertopo ini terus berlanjut pada periode-periode beri-kutnya. Saat ini pola-pola operasi intelijen gaya opsus tersebut terus berlanjut, namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu agar umat Islam mendukung dan tunduk di bawah sistem dan peradaban jahiliyah negara-negara Barat yang menganut paham sipilis (Sekulerisme, Pluralisme dan Liberal-isme).
Kembali ke proses politik dalam negeri tadi, dengan diliberalisasikannya sistem politik maka dunia politik makin sama dengan sistem perdagangan pasar bebas. Setiap kandidat yang ingin menduduki jabatan politik seperti bupati, walikota, gubernur, presiden dan para anggota DPR/DPRD disyaratkan memiliki kemampuan kapital yang kuat alias hanya orang kaya dan berkantong tebal saja yang dapat mendudki jabatan politik ini. Sebab secara logika sederhana saja, untuk keperluan tranportasi kampanye dan mendatangi calon pemilihnya saja, sang kandidat membutuhkan uang untuk keperluan tersebut. Belum lagi biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengambil hati pemilih seperti pembelian kaos kampanye, spanduk, dan segala atribut yang diperlukan dalam usaha untuk memasarkan diri tersebut. Biaya yang cukup mahal adalah biaya untuk pembuatan iklan televisi dan radio serta media cetak, di mana secara efektif media massa tersebut dapat membangun citra positif bagi sang kandidat. Ini baru biaya untuk iklan yang secara resmi disebut iklan, belum lagi pemberitaan yang berbau iklan yang dilakukan tim sukses sang calon dengan kerja sama dengan pihak media massa. Ditambah lagi biaya-biaya survei pesanan yang dilakukan oleh berbagai 'lembaga sulap' di Indonesia. Sebab survei-survei yang dilakukan tersebut adalah survei-survei yang dipesan oleh masing-masing kandididat dalam usahanya untuk mengetahui peta pikiran politik masyarakat. Dan biaya untuk ini membutuhkan uang Rp.300-Rp.500 juta. Belum lagi biaya membeli perahu atau mahar politik bagi kandidat yang bukan berasal dari kader partai politik yang mencalonkan.
Dengan sistem politik demokrasi liberal yang dikembangkan itu maka konsekuensinya partai-partai politik mau tidak mau, suka atau tidak suka akan dituntut untuk mencari uang dan memenuhi pundi-pundi partai agar mesin poitik partai dapat berjalan dan memenangkan kompetisi politik dan pemilu. Dalam usaha itu terjadi proses saling menguntungkan antara kandidat dan partai. Proses simbiosis mutualisma ini akan terus berlanjut bila sang kandididat memenangkan pertarungan politik atau pascapemilu. Bagi yang menduduki jabatan bupati, walikota, gubernur atau presiden, maka imbalan berupa proyek-proyek kelas kakap bagi kader-kader partai yang berprofesi sebagai pengusaha dan kontraktor tentu dengan mudah diberikan, yang tentu saja ada fee dan kick back bagi sang penguasa dan partai yang mengusung calon tersebut. Begitu juga bagi kader-kader partai yang diangkat menjadi menteri. Setiap menteri diminta ”sumbangannya” untuk membesarkan partai. Makanya jangan heran, banyak menteri meng-gunakan proyek di departemennya dan dana non bujeter untuk membangun lobi dan mengambil hati, baik untuk membesarkan partai maupun untuk bertahan pada jabatannya.
Jadi sekali lagi proses politik yang ada sekarang, yang dikatakan paling memberi kesempatan kepada semua orang untuk menduduki jabatan politik adalah omong kosong besar. Sebab dengan menghitung biaya yang dikeluarkan, hanya orang kaya dan bermodal saja yang dapat menduduki jabatan politik di pemerintahan. Sementara itu orang yang berilmu, jujur, amanah dan istiqomah tapi miskin harta jangan harap untuk dapat menduduki jabatan politik. Inilah yang disebut dengan demokrasi yang dipropaganda-kan sebagai sebuah sistem yang paling baik di antara sistem yang ada. Padahal secara gamblang dapat kita saksikan dengan mata kepala sendiri bahwa sistem demokrasi hanya dan mensyaratkan kekayaan untuk dapat menjalankannya. Menko Perekonomian Boediono, beberapa waktu lalu dalam pidato di almamaternya UGM menyebutkan, sistem demokrasi akan aman kalau prasyaratnya terpenuhi yaitu pendapatan perkapita di atas US$ 6.600.
Pada titik inilah sesungguhnya pemberantasan korupsi menjadi proyek politik bagi pihak-pihak tertentu, terutama pemegang kekuasaan untuk melemahkan dan menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Inilah lingkaran kerusakan struktural dari sisitem demokrasi yang dikembang-kan di dunia sekarang ini. Hal ini tidak saja berlaku bagi politik lokal di Indonesia, bahkan di Amerika Serikat seorang kandidat presiden harus mampu menggalang dana hingga jutaan dolar untuk membuktikan bahwa dirinya didukung oleh kalangan bisnis dan untuk keperluan kampanye mereka. Hillary Clinnton dalam laporan yang diterbitkan sebuah surat kabar terkemuka di Amerika, menduduki posisi tertingi dalam penggalangan dana untuk keper-luan mendapatkan jabatan presiden amerika serikat yaitu sebesar US$ 36 juta. Ini sama dengan APBD salah satu kabupaten di Indonesia. Apa imbalan yang harus diberikan oleh seorang Hillary Rodham Clinnton bila ia menjadi presiden Amerika Serikat? Pertama-tama tentu saja dukungan terhadap politik zionis Israel, sebab para penyumbang dana tersebut sebagaian besar adalah pengusaha-pengusaha yahudi Amerika yang tergabung dalam berbagai kelompok lobi Yahudi. Yang kedua tentu saja proyek-proyek pembangunan luar negeri Amerika di Irak dan Afganistan atau di berbagai pelosok dunia lannya mestilah jatuh ke tangan kelompok penyumbang dana tersebut.
Sistem demokrasi seperti inilah rupanya yang didambakan oleh banyak orang di seluruh dunia. Padahal jelas dengan sistem tersebut maka kerusakan dan korupsi menjadi sebuah keniscayaan yang bersifat sistemik dan struktural.
Apakah tidak ada individu yang baik yang ada didalam sistem yang mampu memperbaiki? Atau individu yang baik dari luar yang ditempatkan dalam sistem dapat memperbaiki? Dengan sistem ketatanegaraan, ideologi dan demokrasi yang dikembangkan saat ini, sebaik apapun individu yang ada justru akan larut dan menikmati sistem yang ada. Kurang baik apa seorang menteri yang bergelar profesor dan hidup sederhana seperti Rokhmin Dahuri? Kurang baik apa seorang hafizd Al Qur'an yang menjadi menteri agama? Akan tetapi karena ia dipaksa oleh sistem, maka tidak ada pilihan lain bagi seorang Rokhmin dan seorang hafidz Qur'an untuk mengikuti sistem yang rusak tersebut dan dipaksa untuk ikut merusak pula, yang akhirnya membuat akhlak dan perilakunya juga menjadi rusak. Kurang baik apa sebuah partai politik yang berazaskan islam, yang para kadernya adalah orang-orang yang shaleh dan amanah, pada akhirnya ikut terlibat dalam permainan duniawi yang bernama demokrasi.
Waallahu'alam bishawab
Senin, 28 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu
BalasHapus