Mewujudkan Pendidikan Gratis dan Bermutu Di Indonesia
*Sholeh Huddin
Sebagian besar orang Indonesia menganggap bahwa pendidikan gratis itu adalah suatu hal yang utopis, atau bersifat mustahil. Hal ini dapat dimaklumi. Walaupun sekarang ini pemerintah membebaskan biaya SPP untuk siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN), akan tetapi masih banyak pungutan lainnya yang terjadi. Misalkan, pada awal masuk sekolah seorang siswa harus membeli seragam. Belum lagi biaya sumbangan buat sekolah. Hanya yang berduit yang bisa diterima karena memberi sumbangan yang lebih besar. Yang kecil atau tak bisa memberi sumbangan harus menyingkir. Selain itu, para orang tua juga harus membeli buku untuk anaknya yang bersekolah.. Dan tiap tahun ajaran baru dipastikan harus ganti buku pelajaran. Harganya pun relatif mahal bagi kebanyakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Mungkin kita akan teringat sepenggal kisah seorang anak yang mempunyai masalah dengan biaya pendidikan saat ini. Fifi Kusrini, anak dari keluarga miskin yang juga siswi SMP Negeri 10 Bekasi. Gara-gara menunggak sisa uang gedung, buku rapor dan BP3 yang jumlahnya hanya Rp. 300.000, siswi ini nekat bunuh diri. Ia tak kuat dengan ejekan teman-teman sekolahnya. Kasus-kasus seperti ini makin hari kian bertambah. Anak-anak dari keluarga miskin tak mampu menahan dua penderitaan sekaligus, yakni penderitaan akibat dari kemiskinan itu sendiri dan penderitaan karena tekanan mental dari lingkungan di sekitarnya. Sekolah pun bukan lagi tempat yang menyenangkan bagi masa depan. Kalau sudah begini, maka semangat anak-anak miskin yang ingin bersekolah tersebut akan memudar. Keinginan untuk mengubah keadaan diri sendiri pun menjadi pupus. Lantas, apakah mereka yang tergolong kaum miskin dilarang untuk bersekolah ? lalu apakah hanya orang-orang yang berkantong tebal saja yang boleh bersekolah ? Menurut data statistik, angka putus sekolah yang terjadi di Indonesia cukup tinggi. Angka putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu juta siswa per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80 persen) adalah mereka yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP).
Dilihat secara persentase, jumlah total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga 700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelsesaikan sekolahnya di SMP sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.(Kompas, 12 Februari 2009). Survei Organisasi Buruh Internasional (ILO) tahun 2005, menunjukkan sebanyak 19% anak-anak dibawah usia 15 tahun tidak bersekolah dan lebih memilih untuk menjadi pekerja. Patrick Quinn, Kepala Penasihat Teknik ILO, menilai banyaknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah dan menjadi pekerja anak, karena biaya pendidikan di Indonesia masih terlalu mahal. Di NTT ( Nusa Tenggara Timur) lebih dari 40.000 anak usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP) terpaksa drop out dari bangku sekolah akibat berbagai persoalan. Kesulitan ekonomi keluarga diduga menjadi penyebab utama tingginya siswa drop out, selain masalah sosial, serta fasilitas pendidikan yang masih terbatas.(SAMAN UI, 10 Maret 2009). Sekarang saatnya bagi pemerintah untuk mengurangi biaya pendidikan bagi keluarga miskin. Kenyataan ini tidak akan terjadi manakala pemerintah melaksanakan amanat UUD 1945 berdasarkan konstitusi tersebut. Bukan seperti sekarang ini, pemerintah malah melegalisasikan Undang-Undang yang cenderung meniadakan peran negara dalam menyediakan pendidikan bagi rakyatnya. Misalkan, disahkannya PP 61 Th 1999 tentang penetapan PTN (Perguruan Tinggi Negeri) sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara), PP th 2000 No. 151-154 tentang BHMN-isasi PTN besar (IPB,ITB,UI,UGM,UPI,UNAIR). Dan UU BHP yang disahkan pada 17 Desember 2008 tentang Privatisasi Pendidikan ( lihat pasal 47 dan pasal 57). Padahal, dalam pasal 31 amandemen UUD 1945 ayat (1) Menyatakan setiap warganegara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warganegara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah ini diperkuat lagi melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 ayat (1) UU SPN, menyebutkan setiap warganegara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu : Setiap warganegara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar . Pasal 6 ayat (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi. Berdasarkan konstitusi, Pemerintah berkewajiban menyisihkan 20% dari APBN untuk sektor pendidikan. Menurut pengamat ekonomi M. Fadhil Hasan, bahwa dari alokasi APBN 2006 yang berjumlah sekitar 660 Trilyun sangat sulit merealisasikan angka 20%. Sebab APBN telah dialokasikan 26% untuk bayar utang Negara, 30% untuk daerah ,sisanya merupakan belanja rutin Negara. Pada tahun 2004, anggaran pendidikan sebesar 430,041,20 Milyar (6,09%), Pada tahun 2005 sebesar 542,400,10 Milyar (5,64%). Pada tahun 2006 sebesar 36,7 Trilyun (9,1%) dari total belanja Negara sebesar 647 Trilyun. Pada Tahun 2007 pun anggaran pendidikan sebesar 90,01 Trilyun (11,8%) dari keseluruhan nilai APBN yang mencapai 763,6 Trilyun. Jadi selama ini, pemerintah belum menepati janjinya untuk mengucurkan dana sebesar 20% secara penuh dari APBN bagi anggaran pendidikan. Seandainya Pemerintah sudah menepati janjinya dengan menganggarkan biaya pendidikan sebesar 20% dari APBN. Maka tidak akan ditemukan lagi bangunan-bangunan sekolah dan pondok-pondok pesantren yang reyot, dan hampir roboh. Apalagi jika dana itu tidak dikorupsi oleh para birokrat yang terkait masalah penyaluran dana pendidikan tersebut.
Negara Kaya Tapi Miskin
Potensi kekayaan alam Indonesia yang sangat luar biasa, mampu untuk menggratiskan biaya sekolah penduduk Indonesia. Mulai dari tataran masyarakat kelas bawah hingga atas. Dari level pendidikan dasar sampai Perguruan Tinggi, mampu dibiayai oleh Negara. Andaikata seluruh kekayaan alam itu dapat dikelola oleh bangsa Indonesia sendiri. Menurut pernyataan Kwik Kian Gie ( Mantan Ketua Bappenas), kekayaan alam laut Indonesia saja dapat menghasilkan sekitar 150 Trilyun/tahun. Namun, jika hasil kekayaan laut itu tidak dirampok oleh kapal-kapal asing. Areal hutan Indonesia pun paling luas di dunia, tanahnya subur, alamnya indah, potensi kekayaan laut luar biasa (ikan, udang, mutiara, minyak dan mineral lain). Di darat terkandung barang tambang emas, nikel, timah, tembaga, batubara dsb Di bawah perut bumi tersimpan gas dan minyak yang cukup besar Untuk potensi kesuburan alam: Indonesia adalah penghasil biji-bijian # 6 di dunia, beras # 3 di dunia (setelah China & India), teh # 6 di dunia, kopi # 4 di dunia, coklat # 3 di dunia (setelah Pantai Gading & Ghana), minyak sawit # 2 di dunia setelah Malaysia, lada putih terbesar di dunia dan lada hitam # 3 di dunia, puli dari buah pala terbesar di dunia, karet alam # 2 di dunia (setelah Thailand) dan penghasil karet # 4 di dunia jika termasuk karet sintetis. Sedangkan untuk potensi kekayaan tambangnya: Indonesia penghasil 9,5% produksi tembaga dunia (#3 dunia setelah Chili dan USA), 40% produksi timah dunia (#2 dunia setelah China), 7% produksi nikel dunia (#6), 5% produksi emas dunia (#8), Penghasil batubara #9 di dunia yang volume ekspornya meliputi 18,75% ekspor batubara dunia. Di Papua saja terdapat 25 milyar pon tembaga (#3 dunia), 40 juta ons emas (#1 dunia) dan 70 juta ons perak, nilainya ditaksir sekitar USD 40 Milyar. (Sumber : Suara Merdeka 10 Mei 2005). Selain itu, kandungan minyak bumi dan gas di Indonesia sangat luar biasa besarnya. Akan tetapi 90% kekayaan minyak dan gas Indonesia telah dikuasai perusahaan asing. Perusahaan pertambangan terkaya versi Forbes 500, sebagian besar beroperasi di Indonesia. Perusahaan itu yakni Exxon Mobil, pendapatan 390.3 billlion dolar AS/tahun; Shell (355.8 billion dolar AS/tahun); British Petroleum (292 billion dolar AS/tahun); Total S.A (217.6 billion dolar AS/tahun); Chevron Corp. (214.1 billion dolar AS/tahun); Saudi Aramco/BUMN Saudi (197.9 billion dolar AS/tahun) dan Conoco Philips (187.4 billion dolar AS/tahun). Perusahaan pertambangan itu diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 trilyun/tahun. Jumlah itu 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai Rp. 1.037 trilyun.(al wa’ie no.111 thn X, Nov. 2009) Belum lagi potensi kekayaan gugusan pulau-pulau yang ada di Indonesia, yang terdapat 17.504 pulau. Dan sekitar 6000 pulau belum berpenghuni. (wikipedia.com) Fenomena tersebut berbanding terbalik dengan kondisi realitas penduduk Indonesia. Sampai saat ini, banyak penduduk yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data kemiskinan pada tahun 2003, sebanyak 37,4 juta (17,4%) jiwa hidup dalam kemiskinan. Tahun 2004 sebesar 36,1 juta (16,7%) jiwa. Tahun 2005 berkisar 35,01 juta (15,97%) jiwa. Kemudian pada tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 39,05 juta (17,75%) jiwa. Dan pada tahun 2007 sebesar 37,17 juta (16,58%) jiwa. Tahun 2008 sebanyak 34,9 juta (15,4%) jiwa.(Sumber: BPS dan Kompas). Data diatas dengan asumsi pendapatan USD 1 perkepala/hari, atau per bulan USD 30 (setara Rp. 285.000/ bulan, dgn kurs ; USD 1= Rp. 9500). Selain itu, Pemerintah harus menanggung utang luar negeri yang amat besar. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan , utang luar negeri Pemerintah cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2006, utang luar negeri mencapai Rp. 562 trilyun, kemudian tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 586 trilyun. Tahun 2008 menjadi Rp. 717 trilyun dan tahun 2009 meningkat menjadi Rp. 746 trilyun. Sementara itu, utang obligasi angkanya terus menanjak. Pada tahun 2001, nilainya sudah mencapai Rp. 661 trilyun. Tahun 2009 diperkirakan mencapai Rp. 920 trilyun. Total keseluruhan utang Indonesia pada tahun 2009 sebesar Rp.1.666 trilyun. Itu pun belum termasuk bunga utang yang harus dibayar tiap tahun. Wow…FANTASTIS!!!
Mengapa bisa terjadi seperti ini? Dimana letak kesalahannya ? Pada sistem atau pada orangnya? Atau keduanya? Apa yang harus kita lakukan?
Analisis Penyebab Krisis
Ø Perspektif teknis ekonomi:
Lemahnya fundamental ekonomi, hutang luar negeri yang luar biasa besar, terjadinya defisit neraca transaksi berjalan, dsb.
Solusi: Meningkatkan ekspor, restrukturisasi hutang, dsb.
Ø Perspektif politis:
Berkuasanya rezim yang korup dengan tatanan yang tidak demokratis
Solusi: Melancarkan proses demokratisasi, memlih seorang pemimpin yang amanah dalam mengemban sebuah tanggung jawab, hingga pergantian rezim
Ø Perspektif filosofis mendasar:
Sistem yang dipakai, yakni kapitalisme liberal, yang sudah cacat sejak awal dan bersifat self destructive
Solusi: Melakukan perubahan sistem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar