Manifestasi Kapitalisme Pendidikan Dalam Bentuk UU BHP
Setelah melalui proses yang amat panjang, DPR akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) BHP ( Badan Hukum Pendidikan) menjadi Undang-Undang, pada hari Rabu 17 Desember 2008. Dan ini adalah suatu bentuk manifestasi dari akibat sistem kapitalisme yang diterapkan oeh Pemerintah. Sehingga Pemerintah pun meliberalisasikan segala bidang aspek kehidupan, dan yang terkena imbasnya juga adalah sektor pendidikan. Sejak tahun 2000 Pemerintah telah menggulirkan konsep BHMN yang sudah dijalankan oleh tujuh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yaitu UI, UGM, ITB, IPB ,USU, UPI dan UNAIR. Dalam BHMN ( Badan Hukum Milik Negara), Pemerintah masih bertanggung jawab walaupun BHMN diberi otonomi khusus. Namun , ketika BHMN berpindah status menjadi BHP, maka Pemerintah, otomatis menyerahkan tanggung jawab pengelolaan universitas sepenuhnya kepada pihak pengelola pendidikan dan masyarakat, termasuk pembiayaannya. Padahal, dengan status BHMN saja, PTN rata-rata menaikkan beban biaya pendidikan yang sangat tinggi bagi para mahasiswanya, apalagi kalau UU BHP sudah diberlakukan oleh pemerintah dalam pengelolaan sistem pendidikan di Indonesia.
Dengan demikian, Pemerintah meminimalkan perannya bahkan cenderung melepaskan tanggung jawab dalam pembiayaan pendidikan. Padahal , kewajiban Negara adalah memberikan pelayanan pendidikan yang baik dan bermutu bagi rakyatnya. Dengan mendapatkan pendidikan yang baik, maka akan lahirlah kader-kader generasi penerus perjuangan bangsa dan Negara. Akan tetapi, jika rakyat tidak dapat mengenyam pendidikan yang baik dan bermutu, maka bangsa Indonesia akan melahirkan generasi para budak dan jongos.
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Akan tetapi pada sekarang ini, fenomena penyelenggaraan perguruan tinggi menjadi sebuah ”industri” yang hanya mementingkan sebuah nilai komersialitas saja, sehingga mengarah pada sistem pendidikan kapitalisme.
Setidaknya ada empat titik kritis, yang memberi peluang PTN terjebak kapitalisme. Pertama, sistem rekrutmen mahasiswa yang dikelola secara otonom oleh PTN untuk jalur penelusuran minat dan kemampuan khusus (PMDK) atau sering disebut jalur “khusus" dan jalur ekstensi. Sistem ini bersangkut-paut dengan otoritas PTN dalam menentukan dua keputusan strategis: (1) siapa yang berhak diterima sebagai mahasiswa dan siapa yang tidak, (2) berapa besar sumbangan pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan (SP3) atau biasa disebut uang gedung, yang harus dibayar calon mahasiswa yang diterima.
Di Jawa Timur, misalnya, PTN yang disorot publik, karena menjadi pionir dalam membuka kelas ekstensi dan jalur khusus, yang rekrutmennya dikelola secara otonom oleh PTN bersangkutan, artinya tidak melalui jalur sistem penerimaan mahasiswa baru (SPMB) adalah Universitas Airlangga (Unair). Menurut keterangan Ketua Panitia PMDK Unair Dr drg Sherman Salim MS; uang gedung calon mahasiswa baru untuk jalur khusus berkisar antara Rp 5 juta - Rp.75 juta. Dana ini sah-sah saja, karena dijamin pasal 24 ayat (3) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas, bahwa Perguruan Tinggi dapat memperoleh sumber dana dari masyarakat yang pengelolaannya dilakukan berdasar prinsip akuntablitas publik. Persoalannya, pengelolaan dana yang berdasar pada prinsip akuntabilitas publik inilah yang masih sulit untuk diwujudkan.(Kompas, Jumat 18 Juni 2004).
Di Universitas Indonesia, uang pangkalnya saja mencapai Rp. 25 juta untuk fakultas-fakultas eksakta.(Antara News, 04 Juli 2007). ITB, perguruan tinggi yang pernah meluluskan presiden pertama negeri ini, menawarkan 10 bangku di departemen teknik fisika dengan harga 25.000 dolar AS (Rp 200 juta lebih). Lalu juga Undip, membuka jalur khusus untuk Fakultas Kedokteran sebesar Rp 150 juta, sementara nilai ‘kursi’ untuk fakultas-fakultas teknik Rp 100 juta. UGM Yogya mematok harga bervariasi antara Rp 2 juta (untuk calon mahasiswa Fakultas Biologi, Filsafat), hingga di atas Rp 50 juta. (suaramerdeka.com)
Aset-aset perguruan tinggi pun dijadikan bisnis untuk mencari uang. Misalnya saja IPB mendirikan Bogor Botany Square, Ekalokasari Plaza, dan pom bensin di wilayah kampusnya. Sebenarnya ini sudah melanggar Tri Dharma Perguruan Tinggi karena menjadikan bagian kampus sebagai pusat bisnis. Pendidikan saat ini pun menjadi seperti barang mewah. Boleh dibilang, pendidikan harganya seperti barang kebutuhan tersier (mewah). Dan tentunya cuma bisa dibeli oleh mereka yang berkantong tebal. Sementara buat kebanyakan rakyat negeri ini yang memiliki penghasilan rata-rata yang masuk kategori kelas menengah ke bawah, cukup merajut mimpi saja. Yang jelas , UU BHP telah melahirkan pelayanan pendidikan diskriminatif. Ia telah melahirkan disparitas pendidikan yang sangat jauh dan melebar antara anak-anak orang kaya dengan anak-anak orang miskin. Seolah siapapun yang akan mendapatkan pendidikan harus diukur dari seberapa banyak uang yang dimiliki sebagai biaya masuk untuk duduk di bangku pendidikan tinggi. UU BHP sangat mendorong terciptanya kemunduran pendidikan. Sebab akan banyak sekali anak orang miskin yang tidak dapat bersekolah, sehingga pada akhirnya tidak akan mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Lalu bagaimana nasib bangsa ini , jikalau generasi bangsa kita tidak mendapatkan pendidikan yang terbaik?. Maka tentunya bangsa Indonesia tidak akan dapat melahirkan suatu generasi bangsa yang bekualitas dan mempunyai nilai daya jual tinggi dalam menghadapi era perkembangan zaman yang begitu pesat. Dengan menempatkan pendidikan mahal akan merendahkan martabat pendidikan itu sendiri sebagai media pembebasan manusia dari cengkeraman kemiskinan. Hal itu terjadi karena komersialisasi akan mereduksi hakikat pendidikan dan kemanusiaan itu sendiri. Selain itu, proses komersialisasi juga akan "meminggirkan" kalangan tak mampu tapi berbakat.dan cerdas yang akan jadi korbannya. Angka partisipasi sekolah penduduk berusia 13-15 tahun tidak banyak berubah, bertahan pada 84%, sedangkan pada usia 16-18 tahun 53,92%. (BPS: Indikator Kunci Indonesia 2007 ). Soal kualitas, sistem pendidikan di Indonesia terbilang buruk. Menurut hasil penelitian sebuah lembaga konsultan di Singapura (The Political and Economics Risk Consultancy/PERC) September 2001, sistem pendidikan Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia. Bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara itu, hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000 menunjukkan, kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara, atau jauh dibandingkan dengan Singapura (24), Malaysia (61), Thailand (76), dan Filipina (77) (satunet.com). UU BHP pun akan melahirkan suatu tatanan kehidupan yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik, dan individualistik, sikap beragama yang sinkretik serta paradigma pendidikan yang materialistik. Nilai-nilai kemanusiaan akan diabaikan dalam kehidupan masyarakat. Hanya orang-orang kaya lah yang mempunyai privilese ( hak istimewa) dalam stratfikasi sosial dan mempunyai hierarki yang paling tinggi. Sungguh tak adil, jika pendidikan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Padahal, Pemerintah seharusnya menyediakan suatu pendidikan yang layak bagi semua rakyatnya. Tidak seperti yang terjadi saat ini. Negara justru menjual pendidikan kepada warganya. Apalagi setelah kebijakan UU BHP yang akan diberlakukan, dunia pendidikan juga mengalami imbas yang kian negatif. Dan UU BHP tak lepas dari campur tangan asing yang menginginkan agar Negara Indonesia tetap menduduki sebagai Negara yang terbelakang dalam hal sisi pendidikannya. Hal itu sebagai upaya agar pihak-pihak asing dapat leluasa mengeruk (mengeksploitasi) kekayaan sumber daya alam (SDA) yang terdapat di Indonesia.
Intervensi asing dapat dibuktikan ketika berawal dari menguatnya liberalisasi ekonomi dan krisis multidimensi yang terjadi Indonesia pasca reformasi, terjadi inflasi ekonomi, pemerintah Indonesia mengalami defisit anggaran yang mengarahkan pemerintah mau tidak mau harus mengikuti anjuran dari badan kapitalisme global yakni IMF dan Bank dunia. Jadilah negeri ini diambil alih oleh Bank Dunia dan IMF, serta negara-negara maju (Negara-G8).
Adanya intervensi dari semua lembaga tersebut di atas tidak menjamin stabilitas perekonomian Negara Indonesia. Akan tetapi, lebih menjerumuskan Negara Indonesia ke jurang keterpurukan yang lebih dalam. Meski secara resmi Pemerintah telah memutus hubungan dengan IMF, peran lembaga seperti IMF dan Bank Dunia itu masih terus berlangsung.
Saat ini utang berupa dana segar dari Bank dunia hanya diberikan untuk utang Program Penyesuaian Struktural (SAP). Utang dengan skema SAP ini mensyaratkan Pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang mengarah pada kebijakan untuk (1) mengurangi peran Pemerintah dalam menyediakan barang publik , seperti listrik, maupun pelayanan umum seperti pendidikan, dan kesehatan. (2) memberikan keleluasaan kepada para pemilik modal untuk mengelola barang publik dan pelayanan umum sebagaimana mengelola barang perusahaan yang bertujuan mengejar dan menumpuk keuntungan.
Adapun bentuk-bentuk program penyesuaian struktural adalah (1) Swastanisasi (Privatisasi) BUMN (pengalihan kepemilikan BUMN dari Pemerintah kepada pihak swasta/asing). (2) Deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sektor. (3) Pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok seperti beras, listrik, dan pupuk. (4) Menaikkan tarif telepon dan pos. (5) Menaikkan harga BBM. (6) Menaikkan biaya pendidikan sebanyak 300% (Kau.or.id, 12/11/2004 ).
Rasanya rakyat sudah capek dengan kondisi yang terjadi saat ini. Begitu banyak permasalahan yang mendera mereka. Yang kadangkala permasalahan tersebut membuat mereka menderita. Penderitaan mereka seakan-akan tidak pernah berhenti pada satu bidang saja. Mulai dari masalah pendidikan, kelaparan , kekurangan gizi, busung lapar , kemiskinan , pengangguran dsb. Sudah lama rakyat hidup dalam kubangan penderitaan, dan hingga sampai detik ini pun masih dialaminya. Tiap hari mereka lalui kehidupan ini dengan penuh kepahitan. Dan tak ada seorang pun yang mendengarkan rintihan mereka. Penderitaan mereka seakan-akan tak pernah ada habisnya. Rakyat rasanya sudah kehabisan suara untuk menjerit. Sekeras apapun suara rakyat tidak pernah didengar. Air mata , rasanya juga sudah habis untuk menangisi nasib yang tak kunjung baik, hanya karena Negara ini salah urus. Apa menunggu air mata darah ? Baru Negara yang katanya kaya raya ini jadi baik?
Kini rakyat hanya bisa menjual harga diri. Ini kenyataan . Jutaan rakyat kesulitan makan . Jutaan bayi kena busung lapar. Jutaan rakyat putus sekolah. Ribuan sekolah kondisinya sangat mengenaskan.
Berbagai kejadian membuktikan para pejabat selalu saja begitu kelakuannya , selalu bersikap egois terhadap rakyat . Jika sudah begini , apa rakyat masih harus percaya kepada omongan para pejabat atau pemerintah ? Masih lebih terhormat maling yang mencuri karena susah bayar uang sekolah anak dan mereka mencuri lantaran agar anaknya dapat mengenyam pendidikan yang terbaik. Kesulitan hidup seperti ini dirasakan oleh jutaan rakyat , sementara pejabat tidak pernah susah hidup, karena semua disiapkan Negara. Apakah mereka tidak mempunyai hati nurani lagi ? Dimanakah rasa belas kasihan mereka terhadap rakyat miskin. Untuk mendapatkan pendidikan yang layak saja, begitu sulitnya. Padahal di tangan generasi muda tertumpu harapan perubahan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dan apakah memang di Negara Indonesia, orang miskin dilarang sekolah ?
Senin, 28 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar