Ideologi Evolusi Terguncang di Perancis
Buku harun Harun Yahya berjudul “Atlas Penciptaan” mengguncang Perancis. Sampai-sampai Menteri Pendidikan nya langsung turun tangan sendiri. Ada apa?
Hidayatullah.com--Mengawali tahun 2007, kemunculan buku “L'ATLAS DE LA CREATION“ (Atlas Penciptaan) yang berjumlah ribuan di Perancis menimbulkan guncangan hebat. Sedemikian hebatnya, sampai menteri pendidikan Perancis merasa khawatir dan mewanti-wanti para direktur sekolah dan universitas bahwa buku tersebut tidak sejalan dengan kurikulum dan tidak perlu dipedulikan, tulis AFP edisi 2 Februari 2007.
Mengapa hal ini begitu penting hingga pejabat setingkat menteri pendidikan Perancis turun tangan?
Alasannya sederhana, buku karya Harun Yahya ini menyibak fakta penciptaan yang selama ini disembunyikan dan ditutup-tutupi oleh teori evolusi, teori ateis yang diindoktrinasikan melalui lembaga pendidikan dan ilmiah Perancis agar masyarakat negeri itu tidak mampu memahami fakta penciptaan. (Silakan buka situs http://www.harunyahya.com/
Buku Atlas Penciptaan dicetak dengan foto-foto bermutu tinggi dan penampilan memukau. Karya besar ini sangatlah penting dalam menyingkap bukti-bukti nyata ilmiah penciptaan oleh Tuhan, serta menyibak ketidakabsahan teori evolusi secara ilmiah. Pengiriman gratis buku tersebut ke banyak politikus, pegawai pemerintah, kalangan akademisi, seniman, ilmuwan ternama dan tokoh penting lain di Perancis telah menimbulkan “guncangan ideologis“, meminjam kata-kata mereka yang secara buta mendukung teori evolusi di negeri itu.
Ilmuwan Perancis meragukan teori evolusi
Saat ini banyak kalangan di Perancis yang mulai sadar dan meragukan teori evolusi berdasarkan bukti dan penjelasan ilmiah. Di antara para ilmuwan dan intelektual yang jujur ini ada yang terang-terangan memaparkan bukti-bukti ilmiah yang meragukan teori evolusi dan bergabung dalam sebuah organisasi, CEP. CEP kependekan dari Centre d’Etude et de Prospectives sur la Science (Pusat Pengkajian dan Perencanaan Ilmu Pengetahuan), dan berkantor pusat di Perancis.
CEP beranggotakan sekitar 700 ilmuwan dan cendekiawan Katholik Eropa. Kebanyakan anggota organisasi yang resmi berdiri tahun 1997 ini adalah orang-orang berbahasa Perancis. Sekitar separuh anggota CEP adalah ilmuwan, sisanya adalah sejarawan, agamawan dan agamawati, dan lain-lain. Selain memperbincangkan evolusi, ilmu pengetahuan dan perancangan cerdas, organisasi ini juga menerbitkan sendiri jurnal triwulan CEP, mendukung konferensi tahunan, dan menerbitkan sejumlah karya tentang sejarah ilmu pengetahuan. Namun yang menjadi pusat perhatian dan kegiatan mereka adalah penelaahan kritis terhadap teori evolusi.
Dominique Tassot, orang nomor satu di CEP, adalah lulusan sekolah teknik bergengsi di Perancis, yakni Paris School of Mines (Sekolah Pertambangan Paris), di mana ia belajar matematika, fisika dan kimia. Selama karirnya, ia bekerja di perusahaan-perusahaan pengolahan logam. Banyak anggota CEP lain berkecimpung penuh di dunia pendidikan dan penelitian.
Bagi Tassot sendiri, keraguannya terhadap teori evolusi diawali ketika ia membaca buku karangan dua ilmuwan Perancis yang ditulis di masa perang dunia II, yang mempertanyakan secara ilmiah teori evolusi. Dalam buku itu dijelaskan bahwa secara matematis, peluang terjadinya mutasi menguntungkan pada makhluk hidup sangatlah mustahil. Hal lain yang meyakinkan Tassot akan kelemahan teori evolusi adalah karya Guy Berthault tentang kronologi geologi, atau sejarah terbentuknya lapisan-lapisan kerak bumi.
Ilmu sedimentasi mementahkan teori evolusi
Guy Berthault termasuk di antara ilmuwan terkemuka anggota CEP. Penelitiannya berkisar pada penentuan usia sisa-sisa endapan pada lapisan kerak bumi. Hasil penelitiannya berkaitan erat dengan teori evolusi, selain menarik pula ketika dilihat dari sudut pandang sejarah ilmu pengetahuan.
“Sejak awal, teori evolusi bersandar pada kronologi atau tahapan-tahapan sejarah teramat panjang dari bumi, yang pada akhirnya didasarkan pada teori endapan (sedimentary theory).
Pada dasarnya, teori ini mengatakan bahwa jika ditemukan banyak lapisan berbeda yang tersusun atas batuan endapan, lapisan-lapisan paling bawah berusia lebih tua daripada lapisan-lapisan yang di atasnya, dan keseluruhan susunan lapisan tersebut memerlukan waktu pembentukan yang teramat lama. Selama dua ratus tahun para ahli geologi tidak mempertanyakan kaidah mendasar yang melandasi teori tersebut“, papar Tassot dalam wawancara dengan John L. Allen Jr. yang diterbitkan mingguan National Catholic Reporter 25 Agustus 2006.
Namun urutan lapisan-lapisan batuan endapan ini ternyata tidaklah mesti ditentukan oleh perbedaan usia lapisan-lapisan itu sendiri.
Tassot menjelaskan, “Jika Anda menuang air raksa, minyak dan air ke dalam gelas, air raksa akan berada di lapisan paling bawah, tapi ini bukan karena air raksa berusia lebih tua. Kaidah fisika berlaku di sini. Berat jenis adalah faktor penyebab yang menentukan letak lapisan; dan ini tidak ada kaitannya dengan kronologi (urutan waktu) penuangan. Hal yang sama berlaku pada lapisan-lapisan berbeda pada sisa-sisa endapan. Lapisan-lapisan itu mengendap di tempatnya berada, tapi ini tidak selalu berarti bahwa lapisan tertua adalah yang terletak di bagian paling bawah.“
Tassot menambahkan, “Ini seperti berpendapat bahwa endapan-endapan itu pada dasarnya jatuh dari langit. Padahal, endapan-endapan itu terbawa oleh arus mendatar. Lapisan-lapisan itu terbentuk akibat pengaruh berat jenis, kecepatan dan bentuk geometrisnya, dan bukan pengaruh waktu.“
“Berthault pertama kali menerbitkan penemuan-penemuan ini dalam publikasi French Academy of Science (Akademi Ilmu Pengetahuan Perancis) pada tahun 1990. Ia lalu pergi ke Universitas Colorado di Boulder, dan melakukan penelitian dengan peralatan sangat canggih di sana yang mampu membangkitkan arus air tiruan beserta fenomena fisika terkait. Alhasil, ia merintis kemunculan sebuah ilmu tentang sedimentasi (pengendapan), dan kita benar-benar dapat menghitung waktu yang diperlukan untuk mengendapkan apa yang sedang kita amati. Ada sekelompok ilmuwan Rusia yang melakukan penelitian-penelitian ini dan menerbitkan temuan-temuan mereka pada Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia. Dampaknya, rangkaian urutan waktu pembentukan kerak bumi yang ada telah diruntuhkan“, imbuh Tassot.
Lalu apakah pengaruh penemuan ilmiah ini bagi teori evolusi? Tassot melanjutkan, “Ini berarti bahwa skala waktu yang kita gunakan ketika berpikir tentang teori evolusi tidaklah memiliki landasan ilmiah. Melakukan penghitungan waktu yang diperlukan untuk memunculkan sisa-sisa endapan tertentu kini sudah dimungkinkan, dan ini dalam hitungan hari, dan bukan jutaan tahun. Jadi, untuk saat ini, fosil-fosil dapat memberitahu kita di mana seekor binatang mati, (tapi) bukan selalu berarti kapan ia hidup. Oleh karena fosil adalah dasar berpijak teori evolusi, penelitian-penelitian Berthault secara serius mempertanyakan, kalaulah bukan menggugurkan, teori tersebut.“
Ditentang sejak dulu
Di Perancis, teori evolusi memang sudah meragukan sejak awal. Ilmuwan terkenal asal Perancis, Louis Pasteur (1822-1895), termasuk yang sedari dulu telah berhasil meruntuhkan landasan berpijak teori evolusi, yang meyakini bahwa kehidupan berasal usul dari benda mati melalui peristiwa alamiah belaka, tanpa campur tangan kekuatan luar. Landasan berpijak teori evolusi yang menolak keberadaan pencipta ini biasa dikenal sebagai teori spontaneous generation, kemunculan makhluk hidup secara tiba-tiba, dengan sendirinya, secara kebetulan. Dengan kata lain, tanpa penciptaan, murni peristiwa alamiah belaka.
Keyakinan bahwa bakteri dapat terbentuk dari benda mati masih tersebar luas di masa ketika buku The Origin of Species (Asal Usul Spesies) karya Charles Darwin ditulis. Namun, lima tahun pasca penerbitan buku itu, Louis Pasteur mengumumkan hasil-hasil penelitian dan pecobaan panjangnya, yang membuktikan kekeliruan teori tersebut, yang menjadi dasar berpijak teori Darwin. Singkat kata, Louis Pasteur sebenarnya telah meruntuhkan teori evolusi Darwin sejak awal, dengan membuktikan bahwa bakteri tidak berasal dari benda mati. Hukum temuan Pasteur ini, yaitu "kehidupan hanya berasal dari kehidupan" adalah salah satu dasar biologi modern, yang menggugurkan teori biologi usang “spontaneous generation“, yang menjadi pijakan teori evolusi.
Namun, keyakinan buta terhadap dogmatisme teori evolusi-lah yang menjadikan banyak ilmuwan tetap mempertahankannya hingga kini. Sayangnya, ilmu pengetahuan tidak berpihak kepada mereka. Ilmu pengetahuan abad ke-21 ternyata malah memupuskan harapan para pengikut setia teori evolusi. Mereka semakin kecewa dan berang dengan semakin terungkapnya berlimpah bukti yang meragukan kebenaran teori evolusi dan menyingkap fakta penciptaan.
Dengan kata lain “penciptaan“ adalah kesimpulan ilmiah yang menjelaskan asal-usul kehidupan, yang berhasil diungkap ilmuwan masa kini. Tidak heran jika di sejumlah negara maju kini semakin banyak para ilmuwan, cendekiawan dan kalangan akademis, bahkan hingga menteri pendidikan, yang memperjuangkan dimasukkannya pengajaran penciptaan dan/atau perancangan cerdas sebagai pembanding teori evolusi dalam kurikulum pendidikan. Bagaimana dengan kurikulum pendidikan di Indonesia? [cr/cha]
Senin, 28 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar