MUSYAARAKAH AN-NISAA’ FIS-SIYAASAH FII ‘AHDIN NABIY SHALLAALLAHU ‘ALAIHI WASALLAM
Keikutsertaan Muslimah Dalam Aktivitas Politik Pada Era Nabi Muhammad SAW
Sebagian orang telah bersikap permisif/berlebih-lebihan (ifraath) dalam mensikapi keikutsertaan wanita dalam masalah-masalah politik, sehingga mereka membiarkan para wanita campur-baur (ikhthilaath) dengan para laki-laki di tempat-tempat umum tanpa ada batas serta membuka aurat (tabarruj) sehingga keluar dari aturan-aturan (dhawabith) syar’iyyah. Inilah sikap orang-orang yang sekular pada masa ini, sikap seperti ini adalah salah satu bentuk perilaku wanita jahiliyyah sebagaimana kaum musyrikin sebelum Islam, yang disebut oleh DR Muhammad Quthb sebagai Al-Jahiliyyah fil Qarnil ‘Isyrin (jahiliyyah abad-20).
Sementara sebagian kelompok lainnya bersikap overprotektif/berkurang-kurang-an (tafriith) dalam mensikapi para wanita muslimah, sehingga seolah-olah dunia ini hanyalah milik para laki-laki (Rijal), sementara para wanita harus berdiam di rumah, tidak boleh beraktifitas ke luar rumah dan hanya boleh bertemu laki-laki asing (ajnabi) 3 kali saja seumur hidupnya, yaitu saat ia dilahirkan (waktu diadakan ‘aqiqah-nya), saat ia akan menikah (ta’aruf) dan saat ia dibawa ke kuburnya, maka ini adalah sikap kelompok ghulllat (ekstremis), yang menurut DR Yusuf Al-Qaradhawi disebut sebagai zhahiriyyah-jadiidah (neo-tekstualis).
Islam jauh dari kedua sikap ekstrem tersebut, Islam mensikapi wanita secara adil dan moderat (wasathiyyah) yang jauh dari ifraath maupun tafriith. Demikianlah pemahaman As-Salafus Shalih, dan demikian pula pemahaman AL-IKHWAN kepada peran dan posisi wanita dalam Islam. pada tulisan ini ana berusaha menjawab pertanyaan seorang ukhti al-muslimah tentang keikutsertaan wanita dalam berbagai aktifitas politik, seperti dalam muzhaharah (demonstrasi), dll. Apakah yang demikian itu dibenarkan oleh syariah? Ana akan coba jawab secara ringkas insya ALLAH ta’ala, ALLAHul musta’an..
1. KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DALAM AKTIFITAS POLITIK SAMPAI KE LUAR-NEGERI
“Sesungguhnya orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menzhalimi dirinya sendiri, Malaikat bertanya : Kenapa kalian ini? Mereka menjawab : Kami adalah orang-orang tertindas di negeri ini. Maka kata Malaikat : Bukankah bumi ALLAH itu luas sehingga kalian dapat berhijrah? orang-orang seperti itu tempatnya adalah di neraka Jahannam dan Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali. Kecuali orang-orang yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau anak-anak yang tidak mampu dan tidak mengetahui jalan untuk berhijrah. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk berhijrah kepada ALLAH dan Rasul-NYA, lalu ditimpa kematian maka sungguh pahalanya telah tetap disisi ALLAH. Dan ALLAH adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa’, 4/97-100)
Az-Zain Al-Munayyir berkata : “Ayat tersebut tidak menunjukkan bahwa yang lemah dan tertindas itu hanya berlaku bagi kaum wanita saja, melainkan ayat tersebut menunjukkan adanya persamaan antara lelaki dan wanita.”[1]
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata : “Wanita-wanita yang ikut hijrah ke Habasyah (Ethiopia) adalah Ruqayyah (putri Nabi SAW), Sahlah binti Sahl (istri Abu Hudzaifah), Ummu Salamah binti Abu Umayyah (istri Abu Salamah), Lailat binti Abu Hitsmah (istri Amir bin Rabi’ah) [2]. Adapun wanita yang hijrah pada hijrah kedua mencapai 12 orang, diantaranya Ummu Habibah (putri Abu Sufyan), Asma’ binti Umais, Haminah binti Khalaf al-Khuza’iyyah.” [3]
Dari Marwan dan Al-Miswar bin Makhramah ra, keduanya bercerita tentang para sahabat RasuluLLAH SAW, ketika Suhail bin Amru menulis perjanjian pada hari itu (Hudhaibiyyah), “…tidak ada satupun dari kaum laki-laki yang datang pada Nabi SAW kecuali beliau SAW kembalikan mereka (pada kaum Qurasiy) pada saat itu juga, meskipun ia seorang muslim. Suatu hari datanglah beberapa orang wanita mu’minat sebagai muhajirat, diantaranya Ummu Kultsum binti Abi Mu’aith diantara mereka. Maka datanglah keluarganya meminta agar mereka dikembalikan, tetapi Nabi SAW tidak mengembalikannya kepada mereka.” [4]
Aisyah ra bertanya (kepada seorang budak wanita yang selalu berkata: “Ketahuilah bahwa ALLAH telah menyelamatkanku dari negeri kufur”), kata Aisyah ra: “Kenapa tiap kali kamu duduk disampingku selalu berkata demikian?” Kemudian wanita itu menceritakan kisahnya[5]. Al-Hafizh berkata: “Di dalam hadits itu ada dalil yang menyuruh seseorang keluar dari satu negeri jika ia menghadapi cobaan di negeri tersebut ke negeri yang lebih baik baginya, juga terdapat dalil mengenai hijrah dari negeri kufur.” [6]
Secara lengkap disebutkan dalam berbagai kitab sejarah [7] As-Salafus Shalih pembahasan tentang hijrahnya sejumlah akhwat ke Madinah, diantaranya Ummu al-Fadhl (istri Al-Abbas), Ummu Salamah binti Abu Umayyah, Laila binti Abu Hitsmah, Umaimah binti Abdul Muthalib, Zainab binti Jahsy, Ummu Habibah binti Jahsy, Judamah binti Jandal, Ummu Qays bintoi Muhshin, Ummu Habibah binti Nabatah, Umamah binti Raqisy, Hafshah binti Umar, Fathimah binti Qays, Subai’ah al-Aslamiyyah, dan Ummu Ruman. Tepat sekali perkataan Imam az-Zuhri yang menyatakan: “Kami belum pernah mengetahui tentang adanya salah seorang wanita yang murtad dari agamanya setelah mereka berhijrah.” [8]
2. KEIKUTSERTAAN WANITA MUSLIMAH DALAM JANJI SETIA PADA PEMIMPIN NEGARA YANG ISLAMI
“Hai Nabi, jika datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk berjanji setia bahwa mereka tidak akan syirik pada ALLAH, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak mereka, tidak akan berdusta yang mereka adakan diantara tangan dan kaki mereka, dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan bagi mereka dari ALLAH, sesungguhnya ALLAH MAHA Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah, 60/12)
Janji setia seorang warga masyarakat pada pemimpinnya adalah urusan politik (as-siyasah), jika seadainya Islam menempatkan kaum wanita untuk hanya diam di rumah saja maka mengapakah mereka harus juga diminta untuk ber-janji setia pada pemimpin negaranya? Bukankah berarti saat itu ia harus keluar rumahnya dan nampak oleh orang lain yang bukan mahram-nya? Demikianlah Islam mendudukkan hak politik wanita dalam berbagai hal sama dengan hak politik laki-laki (ana katakan dalam berbagai hal, karena tidak berarti semuanya adalah sama, karena ulama salaf telah sepakat tidak membenarkan wanita menjadi kepala negara, karena demikianlah sebagaimana dalam hadits-hadits shahih).
Sehingga sikap kita dalam masalah ini adalah mengambil hukum sesuai dengan asasnya, lalu melakukan qiyas (analogi) yang benar sesuai illat-nya, tidak memperluasnya tetapi juga tidak menyempitkannya. Demikianlah mawaqif as-salafus-shalih, semoga ALLAH SWT meridhoi mereka semua. Jika dikatakan bahwa janji setia dalam ayat ini khusus bagi wanita dan berbeda dengan janji setia kaum laki-laki, maka hal tersebut tertolak dengan hadits shahih [9] yang diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:
“Suatu hari Nabi SAW berkata dimana disekelilingnya ada sejumlah sahabat ra: “Marilah kalian semua berjanji setia kepadaku, yaitu bahwa kalian tidak akan syirik kepada ALLAH dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anak kalian, tidak akan berdusta yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, dan tidak akan mendurhakaiku dalam hal kebaikan..” Lalu Ubadah ra berkata : “Aku berjanji setia pada beliau SAW berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut.” Demikianlah janji setia para sahabat tersebut sama dengan janji setia para sahabat wanita (shahabiyyah) dalam ayat di atas. ALLAHu ‘alam.
Jika dikatakan bahwa janji setia dalam ayat di atas adalah janji setia dalam urusan agama saja dan bukan masalah pemerintahan (politik), maka pernyataan tersebut tertolak, karena dalam ayat di tersebut bukan hanya memuat masalah agama (dalam arti sempit saja), melainkan juga masalah politik (agama dalam arti luas), berdasarkan salah satu isi dari janji setia dalam ayat tersebut di atas yaitu: “…DAN MEREKA tidak AKAN MENDURHAKAIMU dalam URUSAN KEBAIKAN…” (QS Al-Mumtahanah, 60/12), dan tafsirnya sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih [10] yaitu sabda Nabi SAW : “Ketaatan itu hanya dalam urusan yang baik.” Dan ini adalah masalah kepemimpinan dalam negara dan politik. Ini juga diperkuat dengan berbagai peristiwa politik dalam sirah nabi SAW lainnya yang mengikutsertakan para wanita, di antaranya hadits keikutsertaan janji setia para wanita Anshar dalam peristiwa ‘Aqabah kedua, yaitu Ummu ‘Ammarah binti Ka’ab (wanita bani Mazin) dan Asma binti Amr bin Adi (salah seorang wanita Bani Salamah) - semoga ALLAH SWT meridhoi mereka berdua - [11]. ALLAHu a’lam.
Jika dikatakan : Benar, kami setuju bahwa para wanita tersebut berjanji setia dalam urusan politik bukan hanya urusan agama, tapi tetap kepergian mereka untuk berjanji setia tersebut semuanya adalah bersama para suaminya, jadi tidak merupakan hak mereka secara individu. Maka ana katakan bahwa pernyataan ini pun tertolak oleh atsar yang shahih, diantaranya berdasarkan riwayat dari Imam At-Thabari dari Ibnu Abbas ra[12] : “Demi ALLAH, mereka pergi bukan karena benci pada suaminya, demi ALLAH mereka pergi bukan karena tidak suka pada negerinya lalu ingin pindah ke luar negeri, demi ALLAH mereka pergi bukan karena mengejar dunia, demi ALLAH mereka tidak pergi selain karena mencintai ALLAH dan Rasul-NYA.” Dalam atsar ini dijelaskan secara eksplisit bahwa sebagian mereka pergi dengan tanpa suaminya, sehingga janji setia tersebut adalah untuk diri mereka sendiri. ALLAHu a’lam
3. KEIKUTSERTAAN WANITA DALAM JIHAD FII SABILILLAH
“Sesungguhnya laki-laki dan wanita yang muslim, laki-laki dan wanita yang mu’min, laki-laki dan wanita yang taat, laki-laki dan wanita yang benar, laki-laki dan wanita yang sabar, laki-laki dan wanita yang khusyu, laki-laki dan wanita yang bershadaqah, laki-laki dan wanita yang shaum, laki-laki dan wanita yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan wanita yang banyak mengingat ALLAH, maka ALLAH telah menyiapkan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab, 33/35)
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya [13] menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas ra [14] bahwa ayat ini turun berkenaan dengan pertanyaan para wanita: “Mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan para laki-laki sementara para wanita tidak?” Maka turunlah ayat ini. Imam Al-Qurthubi menambahkan dalam tafsirnya [15] bahwa makna al-qanuut diantaranya adalah ath-tha’aat fil makrah wal mansyath (ketaatan baik dalam malas maupun semangat).
Islam tidak membedakan kaum muslimah dengan kaum muslimin dalam jihad melawan kuffar, dalam hadits yang diriwayatkan oleh seorang sahabat wanita terkemuka Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz ra berkata [16]: “Kami pernah bersama nabi SAW dalam peperangan, kami bertugas memberi minum para prajurit, melayani mereka, mengobati yang terluka, dan mengantarkan yang terluka kembali ke Madinah.” Jika dikatakan bahwa hadits tersebut hanya dalam peperangan yang dekat-dekat dengan Madinah saja dan tidak ke luar negeri, maka hal tersebut terbantah dengan hadits Ummu Haram ra, yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra [17], dimana ia berkata:
“Nabi SAW bersabda : “Sejumlah orang dari ummatku menawarkan dirinya sebagai pasukan mujahid fi sabiliLLAH. Mereka mengarungi permukaan lautan bagaikan raja-raja di atas singgasananya.” Lalu tiba-tiba Ummu Haram ra berkata: “Ya RasuluLLAH, doakan saya termasuk diantara mereka itu.” Lalu Nabi SAW mendoakannya…”
Maka ketahuilah jika hal tersebut (berjihad) terlarang bagi para wanita, maka tidaklah Nabi SAW akan mendoakan Ummu Haram ra, yang jihadnya tersebut sampai jauh ke luar negeri. ALLAHu a’lam
Ketahuilah ikhwah wa akhwat fiLLAH sekalian, jika jihad perang (qital) saja dibolehkan bagi para wanita, apalagi yang lebih rendah bahayanya dari itu, seperti ikut serta mendengarkan pidato politik dari pemimpin di lapangan/tempat terbuka, sebagaimana hadits AbduLLAH bin Rafi’ dari Ummu Salamah ra [18] bahwa suatu ketika Ummu Salamah ra sedang disisir, lalu terdengar Nabi SAW berseru dari atas mimbar: “Ayyuhan Naas!” Maka Ummu Salamah ra berkata pada tukang sisirnya: “Rapikan segera rambutku [19]!” Pembantunya berkata: “Seruan itu hanya untuk kaum laki-laki dan bukan kaum wanita.” Maka jawab Ummu Salamah ra: “Aku juga adalah seorang manusia (an-naas)!”
Jika dikatakan bahwa hukum tersebut khusus untuk mendengar pidato politik dari qiyadah-’ulya (pemimpin negara) saja dan bukan pemimpin selainnya, maka hal tersebut dibantah oleh hadits Zainab ra dalam diskusinya dengan khalifah Abubakar ra yang diriwayatkan oleh Qays bin Abu Hazim ra [20] dimana ia ra bertanya: “Siapakah yang disebut para pemimpin itu?” Jawab Abubakar ra: “Bukankah kaummu memiliki para pembesar dan tokoh yang apabila mereka memerintahkan sesuatu lalu kaumnya mentaatinya?” Jawab Zainab: “Ya, benar.” Kata Abubakar ra: “Mereka itulah pemimpin bagi semua orang.”
Jika dikatakan bahwa mengapa AL-IKHWAN membiarkan para akhwat muslimah ikut memutuskan masalah-masalah politik dan tidak memberikan hak tersebut sepenuhnya pada laki-laki? Maka ana jawab bahwa hal tersebut pun sering dilakukan pada masa Nabi SAW dan Salafus Shalih, di antaranya yang paling terkenal adalah saran Ummu Salamah ra pada Nabi SAW dalam mengatasi masalah politik (yaitu ketidaktaatan para sahabat ra) di hari Hudhaibiyyah [21], lalu saran Ummu Sulaim ra pada Nabi SAW saat peperangan Hunain [22], dll. Jika dikatakan bahwa hal tersebut khusus bagi Nabi SAW saja, maka ana jawab tidak demikian, lihat juga hadits saran Hafshah ra pada saudaranya (Ibnu Umar ra) setelah peristiwa penusukan Umar ra di mesjid [23], juga sarannya saat perang antara Ali ra dan Mu’awiyyah ra [24], teguran Asma binti Abubakar ra pada Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi [25]. ALLAHu a’lam.
Demikianlah, sebagian hadits dan atsar salafus shalih dalam masalah ini (musyarakah siyasiyyah lin nisaa’ / keterlibatan wanita dalam masalah politik) baik di dalam ruangan (seminar, diskusi politik, memutuskan perkara-perkara politik ummat) maupun di luar ruangan (berdemonstrasi, dan sebagainya), bahkan para sahabat ra tidak mengingkari keterlibatan Ummul Mu’minin ra dalam peperangan Jamal, dan sebagian diantara mereka ikut dalam pasukannya [26]. Sepanjang semua itu dilakukan dengan menjaga etika syariat (adabusy-syar’iyyah), seperti tidak bersentuhan lelaki dengan wanita, tidak saling memandang dan menikmati, atau bercanda dengan yang bukan mahram-nya, dan seterusnya. Demikian ukhti al-muslimah, ALLAHu a’lamu bish Shawab…
REFERENSI:
[1] Fathul Bari’ Syarah Shahih Bukhari, III/425
[2] Fathul Bari’, VIII/186
[3] Ibid, hal 187-189. Lih. Juga Ad-Durar fi Ikhtishar Al-Maghazi was Siyar, Ibni Abdilbarr, hal. 21-25.
[4] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat dan Hukum yang Dibolehkan dalam Islam dan Pemjanji setiaan, VI/240.
[5] HR Bukhari, Kitab Shalat, Bab Tidurnya seorang wanita di mesjid, II/79.
[6] Fathul Bari’, II/81
[7] At-Thabaqat Al-Kubra’, Ibnu Sa’d, VIII/276 dan 313; juga Ad-Durar fi Ikhtishar al-Maghazi was Siyar, Ibni Abdilbarr, hal. 45-47.
[8] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat2 dalam Berjihad dan Berdamai, VI/281.
[9] HR Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Delegasi Anshar kepada Nabi SAW dan Janji setia ‘Aqabah, VIII/222.
[10] HR Bukhari, kitab Hukum2, Bab Patuh dan Taat pada Imam Selama tidak Menyangkut Maksiat. XVI/241; HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Kewajiban Mentaati Pemimpin pada Hal yang Bukan Maksiat dan Haram Mentaati Mereka dalam Soal Maksiat, VIII/220.
[11] Fathul Bari’, VIII/220.
[12] Fathul Bari’, XI/345
[13] Mukhtashar Libni Katsir, Ash-Shabuni, III/123
[14] Ibid, haditsnya di-takhrij oleh Imam Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas ra.
[15] Tafsir Ahkamil Qur’an, XIV/163
[16] HR Bukhari, Kitab Jihad, Bab Kaum Wanita Merawat Orang yang Terluka dalam Peperangan, VI/420.
[17] HR Bukhari, Kitab Jihad, Bab Mendoakan Supaya Bisa Berjihad dan Mati Syahid baik bagi Pria maupun Wanita, VI/350; HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Keutamaan Berperang di Laut, VI/50.
[18] HR Muslim, Kitab Keutamaan, Bab Menetapkan Telaga Nabi SAW dan Sifat2nya, VII/67.
[19] dalam riwayat lain : Minggirlah segera dariku! (Ibid).
[20] HR Bukhari, Kitab Manaqib, Bab Hari2 Jahiliyyah, VIII/149.
[21] HR Bukhari, Kitab Syarat, Bab Syarat2 dalam Berjihad dan Berdamai dengan Musuh, VI/257, 269, 276.
[22] HR Muslim, Kitab Jihad, Bab Kaum Wanita Berperang Bersama Kaum Pria, V/196.
[23] HR Muslim, Kitab Kepemimpinan, Bab Menunjuk Khalifah dan Membiarkannya, VI/5.
[24] HR Bukhari, Kitab Peperangan, Bab Perang Khandaq/Ahzab, VIII/466.
[25] HR Muslim, Kitab Keutamaan2 Shahabat, Bab Kebohongan Bani Tsaqif dan Kecurangannya, VII/190.
[26] HR Bukhari, Kitab Cobaan, Bab Utsman bin Haitsam Menceritakan Kepada Kami, XVI/167.
Senin, 28 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar